China kembali membara dalam eskalasi perseteruan dagang dengan Amerika Serikat, kali ini menargetkan Nvidia, perusahaan teknologi raksasa yang memuncaki daftar perusahaan paling bernilai di bursa saham AS dan menjadi tulang punggung dalam penyediaan chip kecerdasan buatan (AI). Otoritas pengawas China secara resmi mengumumkan bahwa Nvidia terindikasi melanggar regulasi antimonopoli, sebuah langkah yang jelas meningkatkan tensi di tengah upaya kedua negara untuk menemukan titik temu dalam isu-isu perdagangan yang kompleks.
Pengumuman ini datang pada saat yang sangat sensitif, bertepatan dengan putaran keempat perundingan perdagangan antara delegasi AS dan China di Madrid. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang memimpin delegasi Amerika, sempat memberikan sinyal positif dengan menyatakan bahwa diskusi berjalan konstruktif. Namun, di sisi lain, pemerintahan Trump justru meningkatkan tekanan dengan memasukkan dua perusahaan manufaktur semikonduktor China, GMC Semiconductor Technology Co. dan Jicun Semiconductor Technology, ke dalam daftar hitam, yang secara efektif melarang mereka untuk membeli teknologi semikonduktor dari AS.
Langkah China terhadap Nvidia ini jelas merupakan respons agresif terhadap tindakan AS. Sebulan sebelumnya, Presiden Trump telah menyetujui kesepakatan yang mengharuskan Nvidia dan perusahaan pembuat chip AS lainnya, seperti AMD, untuk menyetor 15% dari pendapatan penjualan semikonduktor mereka ke China kepada pemerintah AS. Alih-alih menerima persyaratan ini, China justru mengimbau perusahaan-perusahaan teknologinya untuk tidak menggunakan chip buatan Nvidia, sebuah indikasi jelas bahwa Beijing tidak akan tunduk pada tekanan.
Hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai sanksi apa yang mungkin akan dijatuhkan China kepada Nvidia atas dugaan pelanggaran tersebut. Regulator China menyatakan bahwa penyelidikan lebih lanjut akan dilakukan untuk menentukan langkah selanjutnya. Spekulasi pun berkembang mengenai implikasi yang mungkin timbul, mulai dari denda besar hingga pembatasan operasional di pasar China.
Investigasi terhadap Nvidia sebenarnya telah dimulai sejak akhir tahun lalu oleh China’s State Administration for Market Regulation (SAMR). Penyelidikan ini berfokus pada akuisisi Mellanox oleh Nvidia dan perjanjian yang menyertainya. Nvidia menyelesaikan akuisisi perusahaan teknologi asal Israel tersebut pada tahun 2020, yang sebelumnya telah disetujui oleh otoritas China dengan beberapa persyaratan tertentu.
Dalam temuan awal penyelidikannya, SAMR menyatakan bahwa Nvidia melanggar undang-undang antimonopoli China terkait dengan akuisisi Mellanox dan persyaratan yang menyertainya. Namun, regulator China belum memberikan rincian spesifik mengenai bagaimana Nvidia diduga melanggar hukum tersebut, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan spekulasi di kalangan analis dan pelaku pasar.
Menanggapi tuduhan tersebut, juru bicara Nvidia menyatakan, "Kami mematuhi hukum dalam segala hal. Kami akan terus bekerja sama dengan semua lembaga pemerintah terkait dalam mengevaluasi dampak pengendalian ekspor terhadap persaingan di pasar komersial." Pernyataan ini mencerminkan sikap hati-hati Nvidia dalam menghadapi situasi yang kompleks dan sensitif ini.
Nvidia memang memiliki hubungan yang fluktuatif dengan pasar China dalam beberapa bulan terakhir, karena perusahaan tersebut terjebak dalam pusaran kerentanan geopolitik antara AS dan China. Pasar China merupakan pasar yang sangat penting bagi Nvidia, mengingat permintaan yang tinggi akan chip AI untuk berbagai aplikasi, mulai dari pusat data hingga kendaraan otonom.
CEO Nvidia, Jensen Huang, bahkan secara terbuka menyerukan agar perusahaan-perusahaan AS diizinkan untuk menjual produk mereka ke China. Huang berpendapat bahwa pasar AI lokal di China memiliki potensi yang sangat besar, diperkirakan mencapai sekitar USD 50 miliar dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Ia juga memperingatkan bahwa jika perusahaan-perusahaan Amerika tidak hadir di China, maka pemain domestik seperti Huawei akan mengisi kekosongan tersebut, yang pada akhirnya akan merugikan daya saing perusahaan-perusahaan AS.
Situasi yang dihadapi Nvidia ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh banyak perusahaan teknologi AS yang beroperasi di China. Mereka harus menavigasi lingkungan regulasi yang kompleks dan seringkali tidak transparan, sambil juga berurusan dengan ketegangan geopolitik antara AS dan China. Keseimbangan yang sulit ini membutuhkan strategi yang cermat dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan kebijakan dan sentimen politik.
Implikasi dari tuduhan China terhadap Nvidia ini bisa sangat signifikan, tidak hanya bagi Nvidia sendiri tetapi juga bagi industri semikonduktor global secara keseluruhan. Jika Nvidia dikenakan sanksi berat, hal itu dapat mengganggu rantai pasokan global dan meningkatkan biaya chip AI, yang pada akhirnya akan berdampak pada berbagai industri yang bergantung pada teknologi ini.
Selain itu, tindakan China ini dapat mendorong perusahaan-perusahaan China untuk lebih berinvestasi dalam pengembangan chip AI mereka sendiri, yang dapat mengurangi ketergantungan mereka pada teknologi AS dalam jangka panjang. Hal ini juga dapat memicu perlombaan antara AS dan China dalam pengembangan teknologi AI, dengan implikasi geopolitik yang luas.
Analis pasar memperkirakan bahwa kasus Nvidia ini akan terus berkembang dalam beberapa bulan mendatang, dengan potensi dampaknya yang signifikan terhadap hubungan AS-China dan industri teknologi global. Semua mata tertuju pada bagaimana Nvidia akan menanggapi penyelidikan China dan bagaimana pemerintah AS akan bereaksi terhadap tindakan China ini.
Pada akhirnya, kasus Nvidia ini menyoroti kompleksitas dan ketidakpastian yang terkait dengan perdagangan dan investasi di era geopolitik yang berubah dengan cepat. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di pasar global harus siap menghadapi tantangan ini dengan strategi yang fleksibel dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan. Kasus ini juga menekankan pentingnya dialog dan negosiasi antara AS dan China untuk menyelesaikan isu-isu perdagangan yang kompleks dan mencegah eskalasi ketegangan yang lebih lanjut. Masa depan hubungan AS-China, dan masa depan industri teknologi global, mungkin bergantung pada bagaimana kasus Nvidia ini diselesaikan. Perseteruan ini bukan hanya tentang satu perusahaan, melainkan tentang keseimbangan kekuatan di era teknologi dan ekonomi global yang baru.