Laporan mengenai ditemukannya kandungan etilen oksida (EtO) dalam varian Indomie Soto Banjar Limau Kuit telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Otoritas Taiwan melaporkan temuan ini, yang mana mereka menerapkan standar nol toleransi terhadap keberadaan EtO dalam produk pangan. Hal ini didasarkan pada potensi risiko kesehatan yang terkait dengan EtO, termasuk masalah saraf dan potensi sebagai pemicu kanker pada tingkat kadar tertentu.
Menanggapi laporan tersebut, Corporate Secretary PT Indofood CBP Sukses Makmur, Gideon A Putro, menegaskan bahwa perusahaannya secara resmi tidak pernah melakukan impor langsung varian Indomie Soto Banjar Limau Kuit ke Taiwan. Ia menjelaskan bahwa varian tersebut diimpor oleh importir yang bukan merupakan distributor resmi dari Indofood. Hal ini dikarenakan varian tersebut saat ini tidak dipasarkan atau diekspor secara resmi ke Taiwan. Pernyataan ini disampaikan Gideon melalui keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia pada hari Selasa, 16 September 2025.
Kasus ini bukan pertama kalinya Indomie menghadapi isu terkait etilen oksida. Pihak produsen menyoroti adanya perbedaan signifikan antara persyaratan perizinan dan ketentuan keamanan pangan yang berlaku di Indonesia dibandingkan dengan negara lain, termasuk Taiwan. Indofood menekankan bahwa produk Indomie telah dinyatakan aman untuk dikonsumsi karena telah memenuhi persyaratan izin yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Selain itu, Indomie juga telah memenuhi Codex Standard for Instant Noodles, sebuah standar internasional untuk mi instan. Indomie juga telah mengantongi Sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menunjukkan pemenuhan terhadap standar kualitas dan keamanan yang berlaku di Indonesia.
Lebih lanjut, Gideon menjelaskan bahwa fasilitas produksi Indomie telah tersertifikasi Standar Internasional ISO 22000 atau FSSC 22000 untuk sistem manajemen keamanan pangan. Sertifikasi ini menunjukkan komitmen Indofood terhadap praktik produksi yang aman dan higienis, serta kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan potensi bahaya keamanan pangan.
Indofood mengakui bahwa persyaratan, peraturan, dan ketentuan keamanan pangan di negara tujuan ekspor dapat berbeda dengan yang berlaku di Indonesia. Perusahaan menegaskan bahwa mereka senantiasa berupaya untuk memenuhi semua persyaratan yang berlaku di masing-masing negara tujuan ekspor, termasuk Taiwan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa produk Indomie yang diekspor aman dan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh otoritas setempat.
Menyikapi temuan etilen oksida di Taiwan, Indofood menyatakan akan terus berkoordinasi dengan BPOM RI dan otoritas Taiwan untuk menindaklanjuti perkembangan kasus ini. Perusahaan memahami kekhawatiran konsumen terkait potensi risiko kesehatan yang terkait dengan etilen oksida, seperti kanker dan gangguan saraf. Namun, Indofood meyakinkan konsumen bahwa Indomie telah dipasarkan selama lebih dari 30 tahun dan selama ini tidak ada masalah kesehatan yang dilaporkan terkait dengan konsumsi produk tersebut.
Gideon juga menambahkan bahwa kejadian ini tidak memberikan dampak material pada kegiatan operasional maupun kinerja keuangan perseroan. Indofood tetap berkomitmen untuk memproduksi dan memasarkan produk Indomie yang aman, berkualitas, dan sesuai dengan standar yang berlaku.
Etilen oksida (EtO) adalah senyawa kimia yang digunakan dalam berbagai aplikasi industri, termasuk sebagai bahan sterilisasi untuk peralatan medis dan sebagai bahan baku dalam pembuatan berbagai produk, seperti deterjen, pelarut, dan antibeku. EtO juga dapat terbentuk secara alami dalam jumlah kecil selama proses pengolahan makanan.
Penggunaan EtO dalam industri pangan diatur secara ketat oleh berbagai badan pengawas di seluruh dunia, termasuk BPOM RI dan Codex Alimentarius Commission. Batas maksimum residu (BMR) EtO yang diperbolehkan dalam makanan ditetapkan untuk memastikan bahwa konsumen tidak terpapar EtO dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan.
Perbedaan regulasi terkait EtO antara Indonesia dan Taiwan menjadi sorotan dalam kasus ini. Taiwan menerapkan standar nol toleransi terhadap EtO dalam produk pangan, yang berarti bahwa keberadaan EtO dalam jumlah berapapun dianggap tidak aman. Sementara itu, Indonesia dan banyak negara lain mengizinkan keberadaan EtO dalam jumlah tertentu, asalkan tidak melebihi BMR yang telah ditetapkan.
Perbedaan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan dalam penilaian risiko, prioritas kesehatan masyarakat, dan kemampuan untuk mendeteksi dan mengukur EtO dalam makanan. Beberapa negara mungkin lebih konservatif dalam menetapkan standar keamanan pangan, sementara negara lain mungkin lebih fleksibel untuk memungkinkan penggunaan teknologi dan proses yang dapat menghasilkan residu EtO dalam jumlah kecil.
Kasus Indomie ini menyoroti pentingnya harmonisasi regulasi keamanan pangan antara negara-negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. Harmonisasi regulasi dapat membantu memastikan bahwa produk pangan yang diperdagangkan aman dan memenuhi standar yang berlaku di negara tujuan ekspor. Selain itu, harmonisasi regulasi juga dapat mengurangi hambatan perdagangan dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk pangan impor.
BPOM RI sebagai badan pengawas obat dan makanan di Indonesia memiliki peran penting dalam memastikan keamanan dan mutu produk pangan yang beredar di pasaran. BPOM RI bertanggung jawab untuk menetapkan standar keamanan pangan, melakukan pengawasan terhadap produk pangan yang diproduksi dan diimpor, serta memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan yang berlaku.
Dalam kasus Indomie ini, BPOM RI telah melakukan pengujian terhadap produk Indomie yang beredar di Indonesia dan menyatakan bahwa produk tersebut aman untuk dikonsumsi karena memenuhi standar keamanan pangan yang telah ditetapkan. BPOM RI juga akan terus berkoordinasi dengan otoritas Taiwan untuk memantau perkembangan kasus ini dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Konsumen memiliki peran penting dalam memastikan keamanan pangan yang mereka konsumsi. Konsumen harus selalu membaca label produk dengan cermat untuk mengetahui kandungan bahan, tanggal kedaluwarsa, dan informasi penting lainnya. Konsumen juga harus membeli produk pangan dari sumber yang terpercaya dan menyimpan produk pangan dengan benar untuk mencegah kontaminasi.
Jika konsumen memiliki kekhawatiran atau pertanyaan terkait keamanan pangan, mereka dapat menghubungi BPOM RI atau lembaga konsumen lainnya untuk mendapatkan informasi dan bantuan. Konsumen juga dapat melaporkan produk pangan yang diduga tidak aman kepada BPOM RI untuk ditindaklanjuti.
Kasus Indomie ini menjadi pengingat bagi semua pihak, termasuk produsen, pemerintah, dan konsumen, untuk terus meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap keamanan pangan. Keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama yang memerlukan kerjasama dan koordinasi yang baik dari semua pihak. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa produk pangan yang kita konsumsi aman, berkualitas, dan tidak membahayakan kesehatan.