Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melayangkan desakan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan moratorium izin bagi penyedia jasa internet (ISP) baru. Alasannya, jumlah pemain di industri ini telah mencapai lebih dari 1.300 perusahaan, sebuah angka yang dinilai terlalu banyak dan berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat.
Kekhawatiran APJII bukan tanpa dasar. Sebagian besar ISP beroperasi di wilayah perkotaan, menciptakan konsentrasi penyedia yang sangat tinggi dan memicu kompetisi yang sangat sengit. Kondisi ini, menurut APJII, berpotensi besar memicu perang harga yang pada akhirnya akan merugikan baik industri itu sendiri maupun konsumen.
Ketua Umum APJII, Muhammad Arif, mengungkapkan bahwa hampir seluruh ISP di Indonesia (99,9%) dikelola oleh pihak swasta dengan margin keuntungan yang semakin menipis. Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini kesulitan untuk berinvestasi dalam peningkatan kualitas layanan, sebuah aspek krusial dalam menjaga daya saing dan memenuhi kebutuhan pengguna internet yang semakin meningkat.
"Kalau terus ditambah jumlah ISP tanpa perhitungan yang matang, yang akan terjadi adalah perang harga yang tidak terkendali. Pada akhirnya, layanan yang diberikan kepada pelanggan tidak akan optimal. Karena itu, kami sangat mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan moratorium izin ISP baru," tegas Arif, pada hari Jumat (22/8).
Arif menambahkan bahwa perang harga di industri internet dapat memiliki dampak buruk bagi konsumen dalam jangka panjang. Alih-alih menikmati layanan internet murah dengan kualitas yang stabil, masyarakat justru berisiko mendapatkan koneksi yang tidak andal akibat terlalu banyaknya ISP yang beroperasi di satu wilayah. Kondisi ini dapat menghambat aktivitas online, mengganggu produktivitas, dan bahkan merugikan bisnis yang bergantung pada koneksi internet yang stabil.
"Pemerintah seakan-akan melepas infrastruktur digital karena didominasi oleh swasta. Padahal, negara tetap harus hadir untuk memastikan pemerataan dan kualitas layanan internet di seluruh Indonesia," imbuh Arif.
Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 220 juta pengguna internet, sebuah angka yang terus bertambah setiap tahunnya. Pertumbuhan pengguna yang masif ini harus diimbangi dengan tata kelola industri yang sehat dan berkelanjutan. Jika tidak, potensi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia dapat terhambat.
"Jumlah ISP sudah terlalu banyak, mencapai 1.300 perusahaan. Jika kita lihat, ketika sebuah industri sudah semakin padat, permintaan (demand) semakin tinggi, tetapi jumlah pengguna internet kurang lebih sama, terutama di perkotaan. Nah, ini kan sebenarnya faktor harga yang akhirnya menjadi ‘key point’ bagi ISP untuk berjualan," jelas Arif.
"Akhirnya, perang harga itu tidak bisa dihindari lagi. Makanya, apa yang terjadi? Kalau perang harga tidak bisa dihindari, margin keuntungan akan semakin tipis. Dari mana teman-teman provider ini memiliki dana lebih untuk mengembangkan bisnis ke depannya? APJII mendorong moratorium (kepada pemerintah). Kita ingin izin ISP ini dimoratorium untuk sementara waktu sambil kita merapikan regulasi-regulasi yang ada di bawahnya," sambungnya.
Lebih lanjut, APJII juga menyoroti absennya infrastruktur digital dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2026. Padahal, internet telah menjadi tulang punggung transformasi digital dan ekonomi berbasis teknologi di era modern ini. Tanpa adanya perhatian yang serius terhadap infrastruktur digital, Indonesia berisiko tertinggal dari negara-negara lain dalam hal inovasi dan daya saing.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah mengungkapkan delapan agenda prioritas rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) Tahun 2026. Namun, sektor teknologi tidak termasuk dalam prioritas pemerintah di tahun depan, sebuah kondisi yang dinilai dapat berdampak pada melambatnya transformasi digital Indonesia.
Analisis Lebih Mendalam Mengenai Dampak Potensial Perang Harga ISP
Kekhawatiran APJII mengenai potensi perang harga di industri ISP bukan hanya sekadar masalah margin keuntungan yang menipis. Perang harga yang tidak terkendali dapat memicu serangkaian masalah yang lebih kompleks dan merugikan, di antaranya:
-
Penurunan Kualitas Layanan: Dalam upaya untuk memenangkan persaingan harga, ISP mungkin akan mengurangi investasi dalam infrastruktur dan teknologi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas layanan, seperti kecepatan internet yang lebih lambat, koneksi yang tidak stabil, dan layanan pelanggan yang kurang responsif.
-
Inovasi yang Terhambat: Perang harga dapat menghambat inovasi di industri ISP. Perusahaan-perusahaan yang berfokus pada persaingan harga mungkin tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengembangkan layanan baru dan meningkatkan teknologi yang ada. Akibatnya, konsumen akan kehilangan kesempatan untuk menikmati layanan internet yang lebih baik dan lebih inovatif.
-
Konsolidasi Industri: Perang harga dapat memaksa ISP yang lebih kecil dan kurang efisien untuk keluar dari pasar. Hal ini dapat menyebabkan konsolidasi industri, di mana hanya beberapa pemain besar yang mendominasi pasar. Konsolidasi ini dapat mengurangi persaingan dan memberikan kekuatan yang lebih besar kepada pemain-pemain besar untuk menentukan harga dan kualitas layanan.
-
Pemerataan Akses yang Terhambat: Perang harga dapat menghambat upaya untuk pemerataan akses internet di seluruh Indonesia. ISP mungkin akan lebih fokus untuk melayani wilayah perkotaan yang lebih menguntungkan daripada berinvestasi di wilayah pedesaan yang kurang menguntungkan. Akibatnya, kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan dapat semakin melebar.
Rekomendasi Kebijakan untuk Menjaga Kesehatan Industri ISP
Untuk mencegah perang harga dan menjaga kesehatan industri ISP, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kebijakan yang komprehensif, di antaranya:
-
Moratorium Izin ISP Baru: Pemerintah perlu mempertimbangkan moratorium izin ISP baru untuk sementara waktu sampai regulasi dan tata kelola industri diperbaiki. Moratorium ini dapat memberikan waktu bagi industri untuk menstabilkan diri dan mencegah persaingan yang berlebihan.
-
Regulasi yang Lebih Baik: Pemerintah perlu menyusun regulasi yang lebih baik untuk mengatur industri ISP. Regulasi ini harus mencakup standar kualitas layanan, persyaratan investasi infrastruktur, dan mekanisme pengawasan yang efektif.
-
Insentif untuk Investasi: Pemerintah perlu memberikan insentif kepada ISP untuk berinvestasi dalam infrastruktur dan teknologi. Insentif ini dapat berupa keringanan pajak, subsidi, atau pinjaman dengan bunga rendah.
-
Fokus pada Kualitas Layanan: Pemerintah perlu mendorong ISP untuk bersaing berdasarkan kualitas layanan, bukan hanya harga. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan penghargaan kepada ISP yang memberikan layanan terbaik dan memberikan sanksi kepada ISP yang melanggar standar kualitas layanan.
-
Pemerataan Akses: Pemerintah perlu mendorong pemerataan akses internet di seluruh Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan subsidi kepada ISP yang berinvestasi di wilayah pedesaan dan memberikan pelatihan keterampilan digital kepada masyarakat di wilayah pedesaan.
-
Infrastruktur Digital dalam RPJPN: Pemerintah perlu memasukkan infrastruktur digital sebagai salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Hal ini akan memastikan bahwa sektor teknologi mendapatkan perhatian yang cukup dan sumber daya yang memadai untuk berkembang.
Dengan mengambil langkah-langkah kebijakan yang tepat, pemerintah dapat menjaga kesehatan industri ISP, mencegah perang harga, dan memastikan bahwa masyarakat Indonesia dapat menikmati layanan internet yang berkualitas dan terjangkau. Hal ini akan mendukung transformasi digital Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.