Peneliti Sebut Orang yang Depresi Cenderung Suka Nonton Mukbang

  • Maskobus
  • Sep 07, 2025

Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal BMC Psychiatry pada tahun 2025 mengungkapkan adanya korelasi signifikan antara kecenderungan depresi dan kebiasaan menonton mukbang. Mukbang, yang merupakan singkatan dari "meokneun" (makan) dan "bangsong" (siaran) dalam bahasa Korea, adalah fenomena video online di mana seseorang mengonsumsi makanan dalam jumlah besar sambil berinteraksi dengan penonton. Popularitas mukbang telah meroket dalam beberapa tahun terakhir, menjadi sumber hiburan bagi banyak orang, terutama sebagai teman makan virtual. Namun, penelitian ini memberikan wawasan baru tentang potensi dampak psikologis dari kebiasaan menonton mukbang, khususnya pada individu yang rentan terhadap depresi.

Studi yang dilakukan di Korea Selatan ini melibatkan 1.210 orang dewasa dengan rentang usia antara 20 hingga 64 tahun, dengan usia rata-rata 43,5 tahun. Pengumpulan data dilakukan antara tanggal 4 hingga 23 Juli 2024. Para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan frekuensi menonton mukbang mereka: tidak pernah menonton, menonton kurang dari tiga kali seminggu, dan menonton tiga kali atau lebih dalam seminggu. Selain itu, para peserta juga dievaluasi untuk menentukan tingkat depresi mereka menggunakan skala penilaian standar. Tingkat keparahan depresi diklasifikasikan menjadi minimal (skor 0-4), ringan (skor 5-9), sedang (skor 10-19), dan berat (skor 20-27).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir separuh dari responden, yaitu 47,5%, memiliki kebiasaan menonton mukbang. Lebih lanjut, prevalensi depresi secara keseluruhan dalam sampel penelitian adalah 18,4%. Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa di antara peserta yang mengalami depresi, terdapat proporsi yang lebih tinggi pada kelompok dewasa muda, individu dengan pendapatan rendah, tingkat pendidikan rendah, serta mereka yang memiliki riwayat binge eating (makan berlebihan) setidaknya sekali dalam seminggu. Menariknya, kelompok dengan depresi juga cenderung menonton mukbang lebih sering dan dalam durasi yang lebih lama.

"Di antara peserta dengan depresi, proporsi lebih tinggi pada orang dewasa muda, berpendapatan rendah, pendidikan rendah, binge eating ≥ 1 kali per minggu, serta lebih sering dan lebih lama menonton mukbang," tulis para peneliti dalam laporan studi.

Temuan kunci lainnya adalah bahwa peserta yang menonton video mukbang tiga kali atau lebih dalam seminggu memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah menonton sama sekali. Secara spesifik, orang yang tidak menonton mukbang memiliki risiko depresi sebesar 15%. Perbandingan ini menyoroti potensi hubungan antara frekuensi menonton mukbang dan peningkatan risiko depresi.

Peneliti Sebut Orang yang Depresi Cenderung Suka Nonton Mukbang

"Dibandingkan dengan kelompok yang tidak pernah menonton, kelompok yang paling sering menonton mukbang memiliki prevalensi depresi yang lebih tinggi dalam analisis kasar," jelas para peneliti.

Selain mengeksplorasi hubungan antara menonton mukbang dan depresi, studi ini juga menyelidiki perubahan pola makan yang mungkin terjadi pada individu yang sering menonton mukbang. Hasilnya menunjukkan bahwa 38,3% dari peserta melaporkan tidak mengalami perubahan pola makan setelah mulai menonton mukbang. Namun, sebagian besar peserta lainnya melaporkan adanya perubahan, seperti meniru atau memasak makanan yang mereka lihat dalam video mukbang, atau mengonsumsi camilan dalam porsi yang lebih besar dari biasanya. Perubahan pola makan ini dapat berkontribusi pada masalah kesehatan fisik dan mental, terutama jika tidak diimbangi dengan gaya hidup sehat.

Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini tidak membuktikan hubungan sebab-akibat antara kebiasaan menonton mukbang dan risiko depresi. Dengan kata lain, penelitian ini tidak dapat memastikan apakah menonton mukbang menyebabkan depresi, atau apakah orang yang depresi lebih cenderung menonton mukbang. Namun, para peneliti mengemukakan dua kemungkinan penjelasan untuk hubungan yang mereka amati.

Penjelasan pertama adalah bahwa mukbang dapat berfungsi sebagai mekanisme coping (penyesuaian) bagi individu yang mengalami tekanan emosional atau kesepian. Konten mukbang seringkali menciptakan rasa kehadiran sosial, di mana penonton merasa terhubung dengan pembawa acara atau pengalaman makan bersama, meskipun mereka sebenarnya sedang sendirian. Dalam konteks ini, mukbang dapat memberikan rasa nyaman dan mengurangi perasaan terisolasi, terutama bagi mereka yang merasa kesepian atau tertekan.

Penjelasan kedua adalah bahwa hubungan antara menonton mukbang dan depresi dapat bersifat dua arah. Orang yang sudah mengalami gejala depresi mungkin mencari hiburan dan distraksi melalui mukbang. Namun, kebiasaan menonton mukbang secara berlebihan pada akhirnya dapat memperburuk gejala depresi. Misalnya, menonton orang lain makan dalam jumlah besar dapat memicu perasaan iri atau tidak puas dengan diri sendiri, terutama jika individu tersebut sedang berjuang dengan masalah berat badan atau citra tubuh. Selain itu, menonton mukbang juga dapat mengganggu pola makan yang sehat dan menyebabkan perilaku makan yang tidak teratur, yang pada gilirannya dapat memperburuk suasana hati dan meningkatkan risiko depresi.

"Selain itu, penonton yang sudah mengalami gejala depresi mungkin lebih cenderung mencari konten mukbang sebagai distraksi atau penghiburan, yang menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh dua arah," tandas para peneliti.

Meskipun penelitian ini memberikan wawasan yang berharga tentang potensi hubungan antara menonton mukbang dan depresi, ada beberapa keterbatasan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, penelitian ini bersifat cross-sectional, yang berarti data dikumpulkan pada satu titik waktu saja. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menentukan arah hubungan antara menonton mukbang dan depresi. Penelitian longitudinal, yang mengikuti peserta dari waktu ke waktu, diperlukan untuk menentukan apakah menonton mukbang menyebabkan depresi, atau sebaliknya.

Kedua, penelitian ini hanya dilakukan di Korea Selatan, yang memiliki budaya dan kebiasaan makan yang unik. Oleh karena itu, temuan penelitian ini mungkin tidak dapat digeneralisasikan ke populasi lain. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah hubungan antara menonton mukbang dan depresi juga berlaku di negara dan budaya lain.

Ketiga, penelitian ini mengandalkan laporan diri dari para peserta untuk mengumpulkan data tentang kebiasaan menonton mukbang dan gejala depresi mereka. Laporan diri dapat dipengaruhi oleh bias, seperti bias memori atau bias sosial. Oleh karena itu, penting untuk menafsirkan temuan penelitian ini dengan hati-hati.

Meskipun memiliki beberapa keterbatasan, penelitian ini memberikan kontribusi penting untuk pemahaman kita tentang potensi dampak psikologis dari kebiasaan menonton mukbang. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara menonton mukbang dan depresi, terutama pada individu yang rentan terhadap masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang potensi risiko yang terkait dengan menonton mukbang secara berlebihan, dan untuk mendorong individu untuk mencari bantuan profesional jika mereka mengalami gejala depresi.

Selain itu, penelitian ini juga menyoroti pentingnya melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi hubungan kompleks antara teknologi, media sosial, dan kesehatan mental. Dalam era digital saat ini, semakin banyak orang yang terpapar dengan berbagai jenis konten online, termasuk mukbang. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana konten-konten ini dapat memengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan kita, dan untuk mengembangkan strategi untuk mempromosikan penggunaan teknologi yang sehat dan bertanggung jawab.

Sebagai kesimpulan, penelitian ini memberikan bukti yang menunjukkan bahwa orang yang mengalami depresi cenderung lebih suka menonton mukbang. Meskipun hubungan sebab-akibat belum dapat dipastikan, temuan ini menyoroti pentingnya kesadaran diri dan moderasi dalam mengonsumsi konten online, serta perlunya dukungan kesehatan mental bagi individu yang mungkin rentan terhadap efek negatif dari kebiasaan menonton mukbang. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami sepenuhnya dinamika kompleks antara menonton mukbang, depresi, dan faktor-faktor sosial budaya yang terkait.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :