CEO Microsoft, Satya Nadella, berusaha menenangkan karyawan dan memperbaiki hubungan internal perusahaan setelah serangkaian pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kebijakan kembali bekerja di kantor yang menuai kritik. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kekhawatiran karyawan terkait kurangnya empati dalam budaya perusahaan, terutama setelah gelombang PHK yang signifikan dan perubahan kebijakan kerja.
Dalam sebuah pertemuan daring yang dihadiri oleh para eksekutif Microsoft, seorang karyawan secara terbuka menyampaikan kekecewaannya mengenai kurangnya empati yang dirasakan dalam budaya perusahaan. Karyawan tersebut meminta para pemimpin perusahaan untuk mengatasi masalah ini dan menunjukkan pemahaman yang lebih baik terhadap dampak PHK dan perubahan kebijakan terhadap moral karyawan.
Menanggapi keluhan tersebut, Satya Nadella mengakui pentingnya umpan balik dari karyawan dan berjanji untuk melakukan perbaikan. "Saya sangat menghargai pertanyaan dan sentimen di baliknya. Saya menganggapnya sebagai umpan balik bagi saya dan semua orang di tim kepemimpinan, karena pada akhirnya, saya pikir kami dapat melakukan yang lebih baik, dan kami akan melakukan yang lebih baik lagi," ujar Nadella, seperti dikutip dari CNBC pada Minggu (14/9/2025).
Komentar Nadella ini muncul setelah Microsoft mengumumkan pemangkasan 9.000 pekerjaan pada bulan Juli, yang merupakan bagian dari upaya restrukturisasi yang lebih luas untuk meningkatkan efisiensi dan fokus pada pertumbuhan di area-area strategis seperti kecerdasan buatan (AI) dan komputasi awan. Selain itu, Microsoft juga telah melakukan pengurangan jumlah karyawan yang lebih kecil pada bulan-bulan sebelumnya, menambah kekhawatiran di kalangan karyawan tentang stabilitas pekerjaan mereka.
Selain PHK, kebijakan kembali bekerja di kantor juga menjadi sumber ketegangan antara manajemen dan karyawan. Microsoft mewajibkan para pekerja yang tinggal dekat kantor pusatnya di Redmond, Washington, untuk kembali bekerja di kantor setidaknya tiga hari seminggu mulai Februari, dengan rencana penerapan yang lebih luas di masa mendatang. Kebijakan ini memicu perdebatan tentang fleksibilitas kerja dan otonomi karyawan, terutama setelah pengalaman bekerja jarak jauh selama pandemi.
Amy Coleman, kepala Sumber Daya Manusia (SDM) Microsoft, mengakui bahwa respons terhadap pengumuman kembali ke kantor beragam. Beberapa pekerja merasa kehilangan otonomi dan fleksibilitas yang mereka nikmati selama bekerja jarak jauh. Namun, ia juga mencatat bahwa karyawan di Seattle dan sekitarnya sudah datang ke kantor rata-rata 2,4 kali setiap minggu, menunjukkan bahwa sebagian karyawan bersedia untuk kembali bekerja di kantor sebagian waktu.
Seperti banyak perusahaan teknologi lainnya, Microsoft sepenuhnya menerapkan sistem kerja jarak jauh selama pandemi COVID-19. Namun, seiring dengan meredanya pandemi, perusahaan-perusahaan teknologi mulai menerapkan kebijakan kembali ke kantor dengan berbagai tingkat fleksibilitas. Microsoft tergolong lebih lambat dibandingkan dengan beberapa pesaingnya dalam menerapkan mandat kembali ke kantor.
Sebagai perbandingan, Amazon, salah satu pesaing utama Microsoft, telah mewajibkan karyawan untuk kembali bekerja di kantor lima hari seminggu sejak Januari. Kebijakan Amazon yang lebih ketat ini mencerminkan pandangan perusahaan tentang pentingnya kolaborasi tatap muka dan interaksi langsung untuk inovasi dan produktivitas.
Meskipun Nadella dan tim eksekutifnya menghadapi kritik dari staf, kinerja keuangan Microsoft tetap kuat. Wall Street memberikan apresiasi terhadap pertumbuhan dan eksekusi perusahaan, terutama dalam bidang komputasi awan dan AI. Saham Microsoft telah naik hampir 20% tahun ini, mendorong kapitalisasi pasar perusahaan menjadi USD 3,7 triliun, hanya tertinggal dari Nvidia. Pada bulan Juli, Microsoft melaporkan peningkatan laba bersih sebesar 24% menjadi USD 27 miliar, menunjukkan bahwa strategi perusahaan secara keseluruhan berjalan dengan baik.
Namun, Nadella menekankan bahwa perusahaan merasakan tekanan seiring dengan perkembangan pesat AI dan potensinya untuk mengotomatiskan pekerjaan. Ia memperingatkan bahwa beberapa bisnis terbesar yang dibangun Microsoft mungkin tidak lagi relevan di masa mendatang, sehingga perusahaan perlu terus beradaptasi dan berinovasi untuk tetap kompetitif.
"Kita memiliki pekerjaan sangat, sangat berat di depan kita. Beberapa bisnis terbesar yang kita bangun mungkin tidak lagi relevan di masa mendatang," kata Nadella, menekankan pentingnya transformasi dan adaptasi di tengah perubahan teknologi yang cepat.
Selain isu PHK dan kebijakan kembali ke kantor, karyawan Microsoft juga sedang menunggu detail investigasi pihak ketiga setelah The Guardian melaporkan bahwa militer Israel menggunakan infrastruktur cloud Azure Microsoft untuk menyimpan panggilan telepon warga Palestina sebagai bagian dari invasi ke Gaza. Laporan ini memicu protes di kalangan karyawan Microsoft, yang menuntut agar perusahaan menghentikan kerja sama dengan militer Israel.
Sebagai respons terhadap protes tersebut, Microsoft memecat lima karyawan yang terlibat dalam demonstrasi di kantor pusatnya di Redmond. Tindakan ini memicu kontroversi dan perdebatan tentang kebebasan berbicara dan hak karyawan untuk menyuarakan pendapat mereka tentang isu-isu sosial dan politik.
Secara keseluruhan, situasi di Microsoft mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh banyak perusahaan teknologi besar saat ini. Perusahaan-perusahaan ini harus menyeimbangkan kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi dan berinvestasi dalam teknologi baru dengan kebutuhan untuk menjaga moral karyawan dan menciptakan budaya kerja yang positif.
PHK, kebijakan kembali ke kantor, dan isu-isu sosial dan politik yang sensitif dapat menciptakan ketegangan dan ketidakpastian di kalangan karyawan. Oleh karena itu, penting bagi para pemimpin perusahaan untuk berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan karyawan, mendengarkan kekhawatiran mereka, dan mengambil tindakan untuk mengatasi masalah yang ada.
Satya Nadella tampaknya menyadari pentingnya hal ini, dan komentarnya dalam pertemuan daring menunjukkan bahwa ia berkomitmen untuk memperbaiki hubungan dengan karyawan dan menciptakan budaya perusahaan yang lebih empatik. Namun, masih harus dilihat apakah upaya ini akan berhasil meredakan ketegangan dan memulihkan kepercayaan di kalangan karyawan Microsoft.
Ke depan, Microsoft perlu terus berinvestasi dalam pengembangan karyawan, menciptakan peluang karir yang menarik, dan memberikan dukungan yang memadai bagi karyawan yang terkena dampak PHK. Selain itu, perusahaan perlu memastikan bahwa kebijakan kembali ke kantor fleksibel dan mempertimbangkan kebutuhan individu karyawan.
Selain itu, Microsoft perlu mengambil tindakan tegas untuk mengatasi kekhawatiran tentang penggunaan infrastruktur cloud Azure oleh militer Israel. Perusahaan harus memastikan bahwa teknologinya tidak digunakan untuk melanggar hak asasi manusia atau memperburuk konflik.
Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini secara efektif, Microsoft dapat membangun kembali kepercayaan karyawan, meningkatkan moral, dan menciptakan budaya kerja yang lebih positif dan produktif. Hal ini akan membantu perusahaan untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik, mendorong inovasi, dan mencapai kesuksesan jangka panjang.
Sebagai penutup, situasi di Microsoft adalah pengingat bahwa kesuksesan perusahaan tidak hanya bergantung pada kinerja keuangan dan inovasi teknologi, tetapi juga pada kesejahteraan dan kebahagiaan karyawannya. Perusahaan yang memprioritaskan karyawan dan menciptakan budaya kerja yang positif akan lebih mampu menghadapi tantangan dan mencapai kesuksesan di masa depan.