Jakarta – Piyu, gitaris band Padi yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), menyoroti ketidakadilan dalam sistem extended collective licence (ECL) yang diterapkan dalam penarikan royalti lagu di Indonesia. Menurutnya, sistem ini berpotensi merugikan musisi dan pencipta lagu, terutama ketika mereka telah memberikan izin bebas untuk penggunaan karya mereka.
Pernyataan ini disampaikan Piyu dalam rapat konsultasi yang diadakan oleh DPR bersama pemerintah, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), VISI, AKSI, dan WAMI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis (21/8/2025). Rapat tersebut membahas berbagai isu terkait royalti lagu, termasuk implementasi sistem ECL dan dampaknya terhadap industri musik.
Piyu menjelaskan bahwa ketidakadilan sistem ECL terletak pada fakta bahwa LMKN tetap menagih royalti meskipun musisi telah secara sukarela membebaskan lagunya untuk dimainkan oleh pihak lain. Ia mencontohkan kasus di mana WAMI, sebagai salah satu LMK, tetap memungut royalti meskipun seorang musisi seperti Ari Lasso telah mencabut hak eksklusifnya dan mengizinkan penyanyi lain untuk membawakan lagunya.
"Seperti yang ada di dalam berita yang kami sampaikan di sini. Salah satu pernyataan dari ketua dari WAMI, LMK, WAMI, menyampaikan bahwa walaupun Ari Lasso sudah mencabut haknya, tetap akan dipungut royaltinya," kata Piyu.
"WAMI tetap pungut royalti meskipun Ari Lasso bebaskan lagunya untuk dinyanyikan oleh penyanyi lain. Saya rasa hal ini sangat tidak adil, tidak fair. Ketika seorang pencipta lagu dia mencabut kuasanya, tapi tetap dipungut," sambungnya, dengan nada prihatin.
Piyu kemudian mempertanyakan ke mana hasil pungutan royalti tersebut akan dialokasikan jika musisi telah membebaskan lagunya. Ia menekankan bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan royalti sangat penting untuk memastikan bahwa hak-hak pencipta lagu terlindungi.
"Nah, pungutan itu nanti akan diberikan kepada siapa?" tanya Piyu, yang menyiratkan keraguan terhadap sistem yang berlaku.
Lebih lanjut, Piyu menyoroti praktik pembayaran royalti setelah pertunjukan selesai. Ia berpendapat bahwa royalti seharusnya dilunasi sebelum pertunjukan dimulai, sehingga pencipta lagu dapat menerima haknya secara tepat waktu dan memastikan bahwa penggunaan karya mereka telah mendapatkan izin yang sesuai.
"Kenapa itu tidak bisa dilakukan dengan pencipta lagu? Lisensi harus diberikan sebelum naik ke atas panggung. Jadi, kenapa di sini kami menyampaikan bahwa pelaku pertunjukan atau penyanyi ikut bertanggung jawab? Bukan berarti membayar, tapi ikut bertanggung jawab dalam artian pemenuhan hak atas pencipta lagu sudah dilakukan sebelum naik panggung," jelasnya.
Piyu menambahkan bahwa pelunasan royalti di awal pertunjukan akan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat, termasuk penyanyi, penyelenggara acara, dan pencipta lagu. Dengan demikian, penyanyi dapat berkontribusi dalam memastikan bahwa hak-hak pencipta lagu terpenuhi sebelum mereka membawakan karya tersebut di atas panggung.
"Sehingga penyanyi ikut berkontribusi, supaya tahu bahwa penggunaan atas karya-karyanya itu juga akan dipenuhi. Dipenuhi haknya sebelum naik ke atas panggung," tambahnya.
Piyu menekankan bahwa sistem yang ideal adalah sistem di mana pencipta lagu dapat memperoleh haknya secara bersamaan dengan para pengguna atau penyanyi. Ia percaya bahwa dengan pelunasan royalti di awal, tunggakan royalti yang sering terjadi dapat dihindari, dan penyelenggara acara atau event organizer (EO) tidak akan menjadi pihak yang disalahkan.
"Kenapa? Karena seperti yang tadi berikut yang kami sampaikan, kalau itu yang terjadi banyak ada tunggakan-tunggakan, dan akhirnya penyelenggara acara atau EO yang disalahkan," tuturnya.
Sebagai informasi tambahan, DPR, pemerintah, dan musisi memiliki target untuk menyelesaikan revisi Undang-Undang Hak Cipta dalam waktu dua bulan. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mengakhiri polemik royalti lagu yang berkepanjangan dan menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan bagi semua pihak yang terlibat. Revisi UU Hak Cipta diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih baik bagi pencipta lagu, sekaligus mendorong pertumbuhan industri musik Indonesia.
Polemik mengenai royalti lagu memang telah menjadi isu yang cukup kompleks dan seringkali menimbulkan perdebatan di kalangan musisi, pencipta lagu, LMK, dan pengguna musik. Berbagai permasalahan muncul, mulai dari sistem penarikan royalti yang dianggap tidak transparan, pembagian royalti yang tidak adil, hingga penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggaran hak cipta.
Sistem ECL, yang menjadi fokus utama perhatian Piyu, merupakan salah satu mekanisme yang diatur dalam UU Hak Cipta. Sistem ini memungkinkan LMK untuk mengelola hak cipta secara kolektif atas nama para pencipta lagu, termasuk memberikan izin penggunaan dan menarik royalti. Namun, implementasi sistem ECL seringkali menimbulkan masalah, terutama ketika pencipta lagu telah memberikan izin bebas untuk penggunaan karyanya.
Dalam konteks ini, Piyu berpendapat bahwa sistem ECL seharusnya tidak menghalangi hak pencipta lagu untuk mengontrol penggunaan karyanya. Jika seorang pencipta lagu telah secara sukarela membebaskan lagunya untuk dimainkan oleh pihak lain, maka LMKN seharusnya tidak lagi memungut royalti atas penggunaan tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar hak cipta, yaitu memberikan hak eksklusif kepada pencipta lagu untuk mengontrol penggunaan karyanya.
Selain itu, Piyu juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan royalti oleh LMK. Ia menekankan bahwa LMK harus memberikan informasi yang jelas dan akurat kepada para pencipta lagu mengenai jumlah royalti yang berhasil dikumpulkan, biaya operasional yang dikeluarkan, dan mekanisme pembagian royalti. Dengan demikian, para pencipta lagu dapat memastikan bahwa hak-hak mereka terlindungi dan royalti yang mereka terima sesuai dengan yang seharusnya.
Isu lain yang juga perlu diperhatikan adalah penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta. Piyu berharap agar pemerintah dapat meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap pembajakan lagu dan penggunaan karya cipta tanpa izin. Hal ini penting untuk melindungi hak-hak pencipta lagu dan menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan industri musik Indonesia.
Secara keseluruhan, pernyataan Piyu mencerminkan keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi industri musik Indonesia saat ini. Ia berharap agar revisi UU Hak Cipta dapat menjadi momentum untuk menciptakan sistem royalti yang lebih adil, transparan, dan akuntabel, sehingga dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, industri musik Indonesia dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan bangsa.