Respons Wamenkes Soal Kasus Balita Cacingan Muncul Lagi di Bengkulu

  • Maskobus
  • Sep 17, 2025

Kasus kecacingan pada balita kembali mencuat, kali ini terjadi di Seluma, Bengkulu, menimpa seorang anak berusia 1 tahun 8 bulan bernama Khaira. Kejadian ini menjadi perhatian serius karena cacing tidak hanya keluar dari mulut dan hidung balita tersebut, tetapi juga teridentifikasi telah "bersarang" di paru-parunya. Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menanggapi kasus ini dengan menekankan pentingnya faktor kebersihan di lingkungan masyarakat, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kejadian kecacingan yang tinggi. Pemerintah berencana meningkatkan edukasi kesehatan di wilayah-wilayah tersebut sebagai langkah preventif.

Wamenkes Dante menjelaskan bahwa higienitas memegang peranan krusial dalam pencegahan kecacingan. "Yang penting adalah higienitas karena itu menyangkut dengan faktor hygiene yang harus kita sosialisasikan kepada masyarakat jadi masalah hygiene akan menjadi masalah penting," ujarnya saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Rabu, 17 September 2025. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa perubahan perilaku dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai kebersihan lingkungan dan diri sendiri adalah kunci utama dalam mengatasi masalah kecacingan.

Lebih lanjut, Wamenkes Dante juga menyoroti keterkaitan antara kasus kecacingan dengan masalah gizi di masyarakat. Menurutnya, tingginya angka kejadian kecacingan menjadi indikasi adanya persoalan gizi yang belum terselesaikan. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan upaya promotif dan preventif guna mencegah penyebaran kasus cacingan yang lebih luas. "Dan masalah gizi juga akan menjadi masalah penting karena kejadian terakhir itu meninggal kan tidak spesifik karena kecacingan saja, tapi ada masalah gizi," pungkasnya. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kecacingan tidak bisa dilepaskan dari upaya perbaikan gizi masyarakat secara keseluruhan.

Kasus kecacingan pada balita Khaira ini bukan hanya sekadar masalah kesehatan individu, tetapi juga mencerminkan permasalahan sistemik yang lebih besar. Kecacingan merupakan penyakit yang terkait erat dengan sanitasi yang buruk, kurangnya akses air bersih, dan praktik kebersihan yang tidak memadai. Kondisi ini diperparah dengan masalah gizi yang seringkali dialami oleh anak-anak di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Oleh karena itu, penanganan kecacingan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan berbagai sektor, mulai dari kesehatan, sanitasi, pendidikan, hingga pemberdayaan masyarakat.

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, juga memberikan pandangannya mengenai masalah kecacingan di Indonesia. Beliau menyoroti tiga masalah utama yang mendasari tingginya angka kejadian kecacingan pada anak-anak. Pertama, kecacingan termasuk dalam kategori penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Diseases/NTDs), yang seringkali kurang mendapatkan perhatian dan sumber daya yang memadai. Kedua, kasus kecacingan erat kaitannya dengan kekurangan gizi pada anak-anak Indonesia, yang menunjukkan bahwa masalah gizi masih menjadi tantangan serius. Ketiga, kecacingan seringkali tidak disadari oleh masyarakat, sehingga penanganan dan pencegahan tidak dilakukan secara optimal.

Respons Wamenkes Soal Kasus Balita Cacingan Muncul Lagi di Bengkulu

Pernyataan Prof Tjandra Yoga Aditama ini memberikan gambaran yang lebih luas mengenai kompleksitas masalah kecacingan di Indonesia. Kecacingan bukan hanya sekadar penyakit infeksi biasa, tetapi juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kompleks dan multidimensional. Penanganannya memerlukan upaya yang terintegrasi dan berkelanjutan, serta melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah.

Untuk mengatasi masalah kecacingan secara efektif, perlu dilakukan beberapa langkah strategis. Pertama, peningkatan sanitasi dan akses air bersih. Pemerintah perlu berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur sanitasi yang memadai, seperti jamban sehat dan sistem pengelolaan limbah yang baik. Selain itu, akses terhadap air bersih juga harus ditingkatkan, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kesulitan air yang tinggi.

Kedua, peningkatan kesadaran dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Edukasi kesehatan mengenai pentingnya cuci tangan dengan sabun, penggunaan alas kaki, dan pengelolaan makanan yang higienis perlu ditingkatkan. Masyarakat perlu diberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami mengenai cara-cara pencegahan kecacingan.

Ketiga, pemberian obat cacing secara berkala. Pemberian obat cacing secara massal (mass drug administration/MDA) merupakan salah satu strategi yang efektif untuk menurunkan prevalensi kecacingan. Program ini perlu dilakukan secara rutin dan menjangkau seluruh anak-anak usia sekolah dan balita di daerah-daerah endemis.

Keempat, perbaikan gizi masyarakat. Program perbaikan gizi perlu ditingkatkan, terutama pada kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak. Pemberian makanan tambahan (PMT) dan fortifikasi makanan dapat membantu meningkatkan status gizi masyarakat.

Kelima, penguatan sistem surveilans dan deteksi dini. Sistem surveilans perlu diperkuat untuk memantau perkembangan kasus kecacingan dan mendeteksi dini adanya kejadian luar biasa (KLB). Dengan demikian, tindakan penanggulangan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.

Keenam, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan perlu diberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas mengenai penanganan dan pencegahan kecacingan. Dengan demikian, mereka dapat memberikan pelayanan yang berkualitas dan sesuai dengan standar.

Ketujuh, kerjasama lintas sektor. Penanganan kecacingan memerlukan kerjasama lintas sektor yang solid, melibatkan sektor kesehatan, sanitasi, pendidikan, pertanian, dan pemberdayaan masyarakat. Koordinasi yang baik antar sektor akan memastikan bahwa program penanggulangan kecacingan berjalan efektif dan efisien.

Kasus balita Khaira di Bengkulu menjadi pengingat bagi kita semua bahwa masalah kecacingan masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Diperlukan upaya yang lebih serius dan terintegrasi untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif. Dengan kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan semua pihak terkait, diharapkan angka kejadian kecacingan di Indonesia dapat diturunkan secara signifikan dan kesehatan anak-anak Indonesia dapat ditingkatkan.

Selain itu, penting untuk diingat bahwa kecacingan bukan hanya masalah kesehatan individu, tetapi juga merupakan masalah sosial dan ekonomi. Kecacingan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, penurunan produktivitas kerja, dan peningkatan beban ekonomi keluarga. Oleh karena itu, penanganan kecacingan merupakan investasi penting untuk masa depan bangsa.

Pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih besar terhadap masalah kecacingan dan mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk penanggulangannya. Selain itu, partisipasi aktif masyarakat juga sangat penting untuk keberhasilan program penanggulangan kecacingan. Dengan kesadaran dan kemauan yang tinggi dari semua pihak, diharapkan Indonesia dapat bebas dari kecacingan dan anak-anak Indonesia dapat tumbuh sehat dan cerdas.

Kasus Khaira juga menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan diri sendiri. Edukasi kesehatan perlu dilakukan secara berkelanjutan dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat memahami cara-cara pencegahan kecacingan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam penanggulangan kecacingan. Pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggaran yang memadai untuk program sanitasi, air bersih, dan edukasi kesehatan. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu melakukan koordinasi dengan lintas sektor untuk memastikan bahwa program penanggulangan kecacingan berjalan efektif dan efisien.

Organisasi non-pemerintah (ORNOP) juga dapat berperan aktif dalam penanggulangan kecacingan. ORNOP dapat memberikan bantuan teknis, pelatihan, dan dukungan logistik kepada masyarakat dan tenaga kesehatan. Selain itu, ORNOP juga dapat melakukan advokasi kepada pemerintah untuk meningkatkan perhatian dan sumber daya untuk penanggulangan kecacingan.

Dengan kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat, ORNOP, dan semua pihak terkait, diharapkan Indonesia dapat mencapai target eliminasi kecacingan dan anak-anak Indonesia dapat tumbuh sehat dan cerdas. Kasus Khaira menjadi pengingat bagi kita semua bahwa perjuangan melawan kecacingan masih panjang dan memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :