Rupiah Ambruk ke Level Terlemah 4 Bulan, Ini Penjelasan dari Analis

  • Maskobus
  • Sep 20, 2025

Nilai tukar rupiah mengalami tekanan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), mencapai level terendah dalam empat bulan terakhir. Kondisi ini terjadi setelah serangkaian keputusan penting dari bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) dan Bank Indonesia (BI) terkait suku bunga acuan. Analis dari berbagai sektor memberikan pandangan mendalam mengenai faktor-faktor yang memicu pelemahan rupiah ini, mulai dari sentimen pasar terhadap kebijakan The Fed, dinamika politik domestik, hingga arus modal asing.

Bank Indonesia pada hari Rabu, 17 September 2025, mengambil langkah untuk memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%. Lebih lanjut, suku bunga Deposit Facility dipangkas lebih dalam sebesar 50 basis poin menjadi 3,75%. Keputusan ini merupakan pemangkasan kelima yang dilakukan BI sepanjang tahun 2025, sehingga total akumulasi pemangkasan suku bunga mencapai 125 basis poin. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Di hari yang sama, The Federal Reserve juga mengumumkan penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, menetapkan kisaran target baru antara 4,00% hingga 4,25%. Pemangkasan ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan oleh The Fed pada tahun 2025, yang diharapkan dapat memberikan stimulus bagi ekonomi AS.

Namun, alih-alih melemahkan dolar AS, keputusan pemangkasan suku bunga oleh The Fed justru memperkuat mata uang tersebut. Hal ini disebabkan oleh pesan yang disampaikan oleh Ketua The Fed, Jerome Powell, yang dianggap sangat hati-hati dan konservatif oleh pasar.

Dalam pidatonya, Powell menekankan bahwa pemangkasan suku bunga ini lebih merupakan langkah pengelolaan risiko daripada awal dari siklus pemangkasan suku bunga yang agresif. Pernyataan ini menimbulkan interpretasi bahwa The Fed tidak akan terburu-buru untuk melakukan pemangkasan suku bunga lebih lanjut, yang membuat permintaan terhadap dolar AS meningkat.

Rupiah Ambruk ke Level Terlemah 4 Bulan, Ini Penjelasan dari Analis

Reaksi pasar terhadap pernyataan Powell langsung terlihat pada pergerakan indeks dolar AS (DXY), yang menguat tajam. Penguatan dolar AS ini memberikan tekanan besar pada nilai tukar rupiah.

Berdasarkan data Refinitiv, nilai tukar rupiah ditutup melemah 0,46% ke posisi Rp16.500 per dolar AS pada perdagangan hari Kamis, 18 September 2025. Penutupan ini merupakan level terendah sejak 15 Mei 2025, atau dalam kurun waktu empat bulan terakhir.

Tekanan terhadap rupiah terus berlanjut hingga hari Jumat, 19 September 2025. Pada pukul 14.10 WIB, rupiah terdepresiasi 0,52% ke level Rp16.585 per dolar AS.

Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah kali ini lebih banyak dipicu oleh interpretasi pasar terhadap sikap The Fed daripada besaran pemangkasan suku bunga itu sendiri. "Rupiah cenderung melemah terhadap dolar AS pasca Federal Open Market Committee (FOMC) meeting bukan karena pemangkasan suku bunga AS itu sendiri, melainkan karena pesan keseluruhan dari rapatnya dianggap berhati-hati sehingga permintaan dolar kembali meningkat," jelas Josua.

Josua juga menambahkan bahwa faktor regional turut memperkuat posisi dolar AS. "Mata uang Asia melemah setelah isyarat pelonggaran dari bank sentral Korea, sementara pernyataan The Fed dipahami sebagai pemangkasan yang hati-hati. Lingkungan regional Asia seperti ini biasanya membuat arus lindung nilai meningkat pada malam hari, ketika likuiditas rupiah lebih tipis," tambahnya. Hal ini berarti, ketika sentimen pasar terhadap mata uang Asia negatif, investor cenderung mencari perlindungan (safe haven) pada aset yang lebih aman seperti dolar AS.

Dari sisi domestik, pemangkasan BI Rate pada waktu yang sama mempersempit selisih imbal hasil antara rupiah dan aset dolar AS. "Bagi pelaku global jangka pendek, ini mengurangi penyangga imbal hasil rupiah persis saat dolar menguat setelah konferensi pers The Fed, sehingga sebagian posisi rupiah dipangkas di sesi AS," jelas Josua. Dengan kata lain, ketika imbal hasil investasi dalam rupiah menjadi kurang menarik dibandingkan dengan dolar AS, investor cenderung mengurangi kepemilikan aset rupiah mereka.

Selain tekanan eksternal, dinamika politik dalam negeri juga ikut memperburuk pelemahan rupiah. Rully Wisnubroto, Senior Ekonom Mirae Asset Sekuritas, menilai bahwa aliran modal asing keluar masih terjadi sejak adanya reshuffle kabinet, terutama pergantian Menteri Keuangan.

"Rupiah memang tertekan karena asing sampai kemarin masih terus keluar, sejak adanya instabilitas politik dan reshuffle, terutama pergantian Menkeu. Ada kekhawatiran terhadap independensi BI, karena cukup agresif melonggarkan kebijakan moneter," ungkap Rully.

Kekhawatiran investor terhadap arah kebijakan ekonomi ke depan membuat rupiah semakin rentan terhadap volatilitas global. Sentimen politik ini memperlemah daya tarik aset rupiah, terutama ketika dikombinasikan dengan tren pelonggaran kebijakan moneter domestik. Pergantian Menteri Keuangan dapat memicu pertanyaan tentang keberlanjutan kebijakan ekonomi dan independensi lembaga keuangan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kepercayaan investor.

Tekanan pada rupiah juga datang dari faktor teknis di pasar keuangan. David Sumual, Kepala Ekonom BCA, menjelaskan bahwa arus keluar dana asing dari pasar obligasi cukup signifikan, ditambah kebutuhan korporasi untuk pembayaran utang dalam valuta asing.

"Ada tekanan outflow obligasi dan pembayaran utang. Kondisi ini menambah tekanan pada rupiah di tengah dolar AS yang sedang menguat," kata David. Arus keluar dari pasar obligasi memperburuk posisi rupiah, apalagi imbal hasil obligasi AS tidak turun signifikan pasca rapat The Fed. Hal ini membuat aset dolar tetap menarik bagi investor global, sementara rupiah kehilangan momentum untuk bertahan.

Investor asing masih mencatat net outflow pekan lalu. Kendati demikian, angkanya sedikit mengecil. Merujuk data Bank Indonesia berdasarkan transaksi sepanjang 8-11 September 2025, semua instrumen mencatat net outflow. Total net outflow menembus Rp 14,24 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan pada pekan sebelumnya yang tercatat Rp 16,85 triliun.

Net sell di pasar saham mencapai Rp 2,22 triliun, di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 5,45 triliun, dan di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp 6,57 triliun. Net outflow sudah terjadi selama tiga pekan beruntun dengan nilai Rp 31,34 triliun. Net outflow di pasar SRBI sudah berlangsung empat pekan dengan total Rp 23,43 triliun.

Sementara itu, secara keseluruhan, selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen sampai dengan 11 September 2025, asing net outflow sebesar Rp54,33 triliun di pasar saham dan Rp117,72 triliun di SRBI, serta beli neto sebesar Rp58,94 triliun di pasar SBN. Data ini menunjukkan bahwa meskipun ada pembelian neto di pasar SBN, secara keseluruhan, arus modal asing keluar masih lebih besar, yang memberikan tekanan pada rupiah.

Pelemahan rupiah ini menimbulkan berbagai implikasi bagi perekonomian Indonesia. Pertama, biaya impor akan meningkat, yang dapat mendorong inflasi. Kenaikan harga barang-barang impor dapat membebani konsumen dan mengurangi daya beli masyarakat.

Kedua, beban utang luar negeri dalam rupiah akan meningkat. Hal ini dapat memperburuk kondisi keuangan perusahaan dan pemerintah yang memiliki utang dalam mata uang asing.

Ketiga, daya saing ekspor dapat meningkat, tetapi hal ini hanya akan terjadi jika pelemahan rupiah tidak diikuti oleh pelemahan mata uang negara-negara pesaing. Jika negara-negara pesaing juga mengalami pelemahan mata uang, maka keuntungan dari peningkatan daya saing ekspor akan terbatas.

Ke depan, Bank Indonesia diperkirakan akan terus memantau perkembangan pasar keuangan global dan domestik, serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Langkah-langkah ini dapat mencakup intervensi di pasar valuta asing, penyesuaian suku bunga, dan koordinasi dengan pemerintah dalam kebijakan fiskal.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menjaga stabilitas politik, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, serta mendorong investasi di sektor-sektor produktif.

Penting untuk dicatat bahwa pelemahan rupiah bukanlah satu-satunya indikator kesehatan ekonomi. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu fokus pada upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Stabilitas nilai tukar rupiah merupakan salah satu faktor penting, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi.

Dalam jangka panjang, penguatan fundamental ekonomi Indonesia merupakan kunci untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hal ini meliputi peningkatan daya saing industri, diversifikasi ekspor, pengembangan sumber daya manusia, dan perbaikan infrastruktur. Dengan memperkuat fundamental ekonomi, Indonesia akan menjadi lebih tahan terhadap guncangan eksternal dan mampu menarik investasi asing yang berkelanjutan.

Secara keseluruhan, pelemahan rupiah saat ini merupakan tantangan yang perlu diatasi dengan kebijakan yang tepat dan koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dan pemerintah. Dengan mengambil langkah-langkah yang komprehensif dan berkelanjutan, Indonesia dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :