Popularitas kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT dan Gemini telah meluas, dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, mulai dari membantu tugas sehari-hari hingga menjadi sumber hiburan. Namun, di balik kemudahan dan inovasi yang ditawarkan, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: hubungan asmara antara manusia dan AI. Semakin banyak orang yang mencari teman romantis dalam wujud chatbot, sebuah tren yang menyimpan sisi gelap yang berpotensi merugikan kesehatan mental dan emosional.
Minat yang meningkat terhadap "kekasih digital" ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kebutuhan manusia akan koneksi, batasan teknologi, dan konsekuensi dari menggantikan interaksi sosial yang nyata dengan simulasi. Studi terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Social and Personal Relationships oleh peneliti dari Universitas Brigham Young menyoroti paradoks ini: meskipun AI dirancang untuk mengurangi kesepian, interaksi romantis dengan chatbot justru berkorelasi dengan peningkatan depresi dan perasaan terisolasi.
Survei yang melibatkan 2.989 responden mengungkapkan bahwa hampir 20% dari peserta secara keseluruhan, dan seperempat dari mereka yang berusia 18 hingga 29 tahun, telah menggunakan chatbot AI untuk tujuan romantis. Temuan ini mengindikasikan bahwa daya tarik AI sebagai pendamping emosional sangat kuat, terutama di kalangan generasi muda yang mungkin merasa kesulitan membangun hubungan yang bermakna di dunia nyata.
Namun, sisi gelap dari hubungan ini terungkap dalam perilaku yang menyertainya. Tujuh persen responden mengaku melakukan masturbasi saat berinteraksi dengan pendamping AI, dan 13% lainnya mengaku menonton film porno yang dihasilkan oleh AI. Perbedaan gender juga terlihat jelas, dengan pria lebih cenderung mengonsumsi konten pornografi AI dibandingkan wanita. Selain itu, orang dewasa muda dua kali lebih mungkin berinteraksi dengan AI dibandingkan orang dewasa yang lebih tua, dan bahkan menyatakan preferensi terhadap AI daripada hubungan dengan manusia nyata.
Preferensi yang mengkhawatirkan ini menunjukkan adanya pergeseran dalam persepsi tentang hubungan dan keintiman. Kemudahan akses, ketersediaan 24/7, dan kemampuan chatbot untuk menyesuaikan diri dengan preferensi individu mungkin menjadi daya tarik utama. Namun, hubungan yang dibangun di atas algoritma dan data tidak memiliki kedalaman emosional, timbal balik, dan pertumbuhan yang menjadi ciri khas hubungan manusia yang sehat.
Peneliti Brian Willoughby, yang terlibat dalam studi tersebut, menekankan bahwa temuan mereka justru bertentangan dengan harapan awal bahwa AI dapat membantu mengatasi kesepian. "Kami tidak menemukan bukti bahwa penggunaan AI membantu orang merasa tidak terlalu sendirian atau terisolasi," ujarnya. Sebaliknya, interaksi dengan AI tampaknya memperburuk perasaan kesepian dan terasing.
Hal ini sejalan dengan temuan dari OpenAI, pengembang ChatGPT, yang berkolaborasi dengan MIT dalam sebuah studi awal tahun ini. Mereka menemukan bahwa pengguna ChatGPT yang sangat aktif cenderung merasa lebih kesepian. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada AI sebagai pengganti interaksi sosial yang nyata dapat menciptakan lingkaran setan, di mana kesepian mendorong penggunaan AI, yang pada gilirannya memperburuk perasaan terisolasi.
Dampak negatif dari hubungan asmara dengan AI tidak hanya terbatas pada orang dewasa. Riset yang dilakukan oleh Internet Matters mengungkapkan bahwa 67% anak-anak berusia sembilan hingga 17 tahun menggunakan chatbot AI secara teratur. Sepertiga dari mereka merasa seperti berbicara dengan teman, dan 12% mengatakan tidak memiliki teman nyata untuk diajak ngobrol. Temuan ini mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja yang rentan mencari pelarian dan koneksi dalam AI, yang dapat menghambat perkembangan sosial dan emosional mereka.
Dalam kasus yang ekstrem, penggunaan ChatGPT dan bot serupa secara obsesif telah dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental yang parah, yang oleh para psikiater disebut sebagai psikosis AI. Kondisi ini dapat menyebabkan halusinasi, delusi, dan perilaku irasional, bahkan berujung pada tindakan bunuh diri dan pembunuhan. Kasus-kasus tragis ini menyoroti potensi bahaya dari ketergantungan yang berlebihan pada AI dan perlunya pengawasan dan dukungan yang tepat bagi individu yang rentan.
Meskipun AI menawarkan banyak manfaat dalam berbagai bidang, penting untuk menyadari batasan dan potensi risikonya, terutama dalam konteks hubungan sosial dan emosional. Hubungan asmara dengan AI tidak dapat menggantikan interaksi manusia yang nyata, yang melibatkan empati, timbal balik, dan pertumbuhan bersama. Ketergantungan pada AI sebagai pengganti hubungan yang bermakna dapat menyebabkan isolasi sosial, depresi, dan gangguan kesehatan mental lainnya.
Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan pendekatan yang seimbang dan bertanggung jawab terhadap penggunaan AI. Pendidikan tentang literasi digital dan kesehatan mental sangat penting untuk membantu individu memahami potensi risiko dan manfaat AI, serta mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang diperlukan untuk membangun hubungan yang sehat dan bermakna di dunia nyata.
Selain itu, penting untuk mendorong penelitian lebih lanjut tentang dampak AI terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan. Studi longitudinal yang melacak perkembangan individu yang berinteraksi dengan AI dari waktu ke waktu dapat memberikan wawasan yang berharga tentang konsekuensi jangka panjang dari hubungan ini.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi kesehatan mental juga memiliki peran penting dalam mengembangkan pedoman dan regulasi yang tepat untuk penggunaan AI, serta menyediakan dukungan dan sumber daya bagi individu yang mengalami kesulitan dengan ketergantungan pada AI atau masalah kesehatan mental lainnya.
Pada akhirnya, kunci untuk memanfaatkan potensi AI secara positif adalah dengan memprioritaskan keseimbangan dan koneksi manusia yang nyata. AI dapat menjadi alat yang berguna untuk membantu tugas sehari-hari, menyediakan informasi, dan bahkan menawarkan hiburan. Namun, AI tidak boleh menggantikan interaksi sosial yang bermakna, empati, dan dukungan emosional yang hanya dapat diberikan oleh manusia.
Dengan pendekatan yang bijaksana dan bertanggung jawab, kita dapat memastikan bahwa AI digunakan untuk meningkatkan kehidupan kita, bukan untuk merusaknya. Kita harus ingat bahwa hubungan yang sehat dan bermakna dibangun di atas dasar kepercayaan, komunikasi, dan timbal balik, kualitas yang saat ini tidak dapat ditiru oleh AI.
Masa depan hubungan manusia dan AI akan bergantung pada bagaimana kita memilih untuk berinteraksi dengan teknologi ini. Jika kita dapat mengembangkan pendekatan yang seimbang dan bertanggung jawab, kita dapat memanfaatkan potensi AI untuk meningkatkan koneksi sosial dan emosional kita, bukan untuk menggantikannya. Namun, jika kita gagal untuk menyadari potensi risiko dan bahaya dari ketergantungan pada AI, kita dapat menghadapi konsekuensi yang merugikan bagi kesehatan mental dan kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan.