Skizofrenia telah menjadi masalah kesehatan jiwa yang paling banyak dialami di Indonesia, berdasarkan data klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selama periode 2020-2024. Kondisi ini menyoroti urgensi penanganan dan pencegahan gangguan jiwa di tanah air. PLT Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) dr Arif Zainudin Surakarta, dr Wahyu Nur Ambarwati, SpKJ, menekankan bahwa skizofrenia merupakan gangguan mental serius yang mengganggu kemampuan seseorang untuk membedakan realitas.
Skizofrenia merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan dan pemantauan medis berkelanjutan. "Skizofrenia ini jenisnya termasuk kronis relapse disease. Pasien-pasien skizofrenia itu harus rutin kontrol, kemudian mengonsumsi obat. Karena salah satu, yang menstabilkan neurotransmitter dopamin, itu adalah adalah obat-obatan antipsikotik," jelas dr. Wahyu dalam sebuah acara media di Surakarta, Jawa Tengah, pada Selasa, 16 September 2025. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya kepatuhan pasien terhadap pengobatan untuk mengelola kondisi dan mencegah kekambuhan.
Lebih lanjut, dr. Wahyu menyoroti bahwa skizofrenia sebenarnya dapat dicegah. Namun, stigma negatif yang melekat pada penyakit jiwa di masyarakat sering kali menjadi penghalang bagi deteksi dini dan pengobatan yang tepat. Akibatnya, banyak pasien datang mencari pertolongan medis ketika gejala sudah parah, yang pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan kasus skizofrenia di Indonesia.
"Jadi jangan menunggu sudah ada gejala yang berat, seperti halusinasi, tetapi pada saat seseorang sudah ada stresor, mulai tidak baik-baik saja, mulai cemas ringan, mulai ada hendaya (ketidakmampuan) beberapa fungsi, nah itu sudah perlu intervensi awal," tegasnya. Ia menambahkan bahwa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah menyediakan akses yang luas untuk layanan psikiatri, dan masyarakat perlu memanfaatkan fasilitas ini. "Itu yang kadang-kadang, balik lagi ke stigma, balik lagi ke akses, padahal dari JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sendiri sudah banyak sekali memberikan akses untuk layanan psikiatri. Jadi seperti itu yang harus kita antisipasi di masyarakat. Mari kita sama-sama menghapus stigma," ajaknya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, dalam kesempatan yang sama, mengungkapkan bahwa kesehatan jiwa merupakan isu krusial di Indonesia. Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa nilai klaim untuk penanganan gangguan jiwa selama 2020-2024 mencapai Rp 6,7 triliun. Angka ini mencerminkan beban ekonomi yang signifikan akibat masalah kesehatan jiwa.
BPJS Kesehatan juga mencatat peningkatan biaya klaim kesehatan jiwa setiap tahunnya. Pada tahun 2024, biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 1,9 triliun, naik dari Rp 1,6 triliun pada tahun 2023. Pada tahun 2022, nilai klaim tercatat sebesar Rp 1,2 triliun, Rp 1 triliun pada tahun 2021, dan Rp 937 miliar pada tahun 2020. Tren peningkatan ini mengindikasikan perlunya perhatian lebih terhadap kesehatan jiwa masyarakat.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, skizofrenia menjadi gangguan jiwa dengan jumlah klaim kasus terbanyak, yaitu 7.499.226 klaim kasus, dengan total pasien yang menjalani perawatan sebanyak 473.144 jiwa. "Yang paling banyak ini skizofrenia. Skizofrenia itu tidak bisa membedakan realitas dan idealitas. Biayanya itu hampir Rp 3,5 triliun tahun 2020-2024," ungkap Ghufron.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingginya Kasus Skizofrenia di Indonesia:
Beberapa faktor dapat menjelaskan mengapa skizofrenia menjadi masalah kesehatan jiwa yang paling umum di Indonesia:
- Stigma dan Diskriminasi: Stigma yang melekat pada penyakit jiwa, termasuk skizofrenia, membuat orang enggan mencari bantuan medis. Keluarga dan masyarakat sering kali menyembunyikan orang dengan gangguan jiwa karena malu atau takut dikucilkan. Hal ini menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan, yang memperburuk kondisi pasien.
- Kurangnya Kesadaran Masyarakat: Kurangnya pemahaman masyarakat tentang skizofrenia dan penyakit jiwa lainnya menyebabkan penanganan yang tidak tepat. Banyak orang percaya bahwa skizofrenia disebabkan oleh kutukan atau gangguan mistis, sehingga mereka mencari pengobatan alternatif yang tidak ilmiah.
- Akses Terbatas ke Layanan Kesehatan Mental: Meskipun JKN telah memperluas akses ke layanan psikiatri, masih banyak orang, terutama di daerah terpencil, yang kesulitan mendapatkan perawatan yang memadai. Kurangnya tenaga kesehatan jiwa yang terlatih dan fasilitas kesehatan mental yang memadai menjadi kendala utama.
- Faktor Genetik dan Lingkungan: Skizofrenia diyakini disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Riwayat keluarga dengan skizofrenia meningkatkan risiko seseorang mengembangkan penyakit ini. Faktor lingkungan, seperti stres berat, trauma masa kecil, dan penyalahgunaan narkoba, juga dapat memicu timbulnya skizofrenia.
- Kemiskinan dan Kondisi Sosial Ekonomi yang Buruk: Kemiskinan dan kondisi sosial ekonomi yang buruk dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami masalah kesehatan jiwa, termasuk skizofrenia. Stres akibat kesulitan ekonomi, kurangnya akses ke pendidikan dan pekerjaan, serta lingkungan yang tidak sehat dapat memicu timbulnya gangguan jiwa.
- Kurangnya Dukungan Sosial: Dukungan sosial yang kuat dari keluarga, teman, dan komunitas sangat penting bagi orang dengan skizofrenia. Kurangnya dukungan sosial dapat memperburuk gejala dan meningkatkan risiko kekambuhan.
- Penyalahgunaan Narkoba: Penyalahgunaan narkoba, terutama jenis stimulan seperti sabu-sabu, dapat memicu timbulnya gejala psikotik yang mirip dengan skizofrenia. Penggunaan narkoba juga dapat memperburuk kondisi pasien skizofrenia.
Upaya Pencegahan dan Penanganan Skizofrenia:
Untuk mengatasi masalah skizofrenia di Indonesia, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak:
- Edukasi dan Kampanye Kesadaran: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang skizofrenia dan penyakit jiwa lainnya melalui edukasi dan kampanye publik. Kampanye ini harus bertujuan untuk menghilangkan stigma dan mendorong orang untuk mencari bantuan medis jika mengalami gejala gangguan jiwa.
- Peningkatan Akses ke Layanan Kesehatan Mental: Memperluas akses ke layanan kesehatan mental, terutama di daerah terpencil, dengan meningkatkan jumlah tenaga kesehatan jiwa yang terlatih dan membangun fasilitas kesehatan mental yang memadai. Memanfaatkan teknologi, seperti telemedicine, untuk menjangkau pasien di daerah yang sulit dijangkau.
- Deteksi Dini dan Intervensi Awal: Melakukan deteksi dini gangguan jiwa, termasuk skizofrenia, melalui skrining kesehatan mental di sekolah, tempat kerja, dan komunitas. Memberikan intervensi awal kepada orang yang berisiko tinggi mengalami skizofrenia untuk mencegah timbulnya gejala yang lebih parah.
- Pengobatan yang Komprehensif: Memberikan pengobatan yang komprehensif kepada pasien skizofrenia, termasuk obat-obatan antipsikotik, terapi psikososial, dan rehabilitasi. Memastikan pasien mendapatkan dukungan yang memadai untuk mematuhi pengobatan dan mencegah kekambuhan.
- Dukungan Sosial dan Rehabilitasi: Memberikan dukungan sosial kepada pasien skizofrenia dan keluarga mereka melalui kelompok dukungan, konseling, dan program rehabilitasi. Membantu pasien untuk mengembangkan keterampilan sosial, pekerjaan, dan kemandirian agar dapat berfungsi secara optimal di masyarakat.
- Penguatan Sistem Kesehatan Mental: Memperkuat sistem kesehatan mental di Indonesia dengan meningkatkan anggaran, sumber daya manusia, dan infrastruktur. Mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam layanan kesehatan primer untuk memudahkan akses pasien ke perawatan.
- Penelitian dan Pengembangan: Melakukan penelitian dan pengembangan untuk memahami lebih lanjut tentang penyebab, pencegahan, dan pengobatan skizofrenia. Mengembangkan inovasi dalam layanan kesehatan mental untuk meningkatkan kualitas perawatan.
- Kerjasama Lintas Sektor: Meningkatkan kerjasama lintas sektor antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan masyarakat untuk mengatasi masalah skizofrenia secara komprehensif. Melibatkan semua pihak dalam upaya pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi pasien skizofrenia.
Dengan upaya yang terkoordinasi dan berkelanjutan, diharapkan kasus skizofrenia di Indonesia dapat dikendalikan dan kualitas hidup orang dengan skizofrenia dapat ditingkatkan. Menghapus stigma, meningkatkan kesadaran, dan menyediakan akses ke layanan kesehatan mental yang berkualitas adalah kunci untuk mengatasi masalah ini.