Popularitas seblak, jajanan pedas khas Bandung, tak jarang menuai kekhawatiran terkait kandungan gizinya. Baru-baru ini, seorang dokter di Bandung Barat menjadi viral setelah membagikan pengalamannya menangani pasien radang lambung yang lebih sering mengonsumsi seblak daripada nasi. Unggahan tersebut memicu diskusi mengenai potensi dampak seblak terhadap kesehatan, khususnya terkait stunting dan malnutrisi.
Dokter Mariska Haris, dalam unggahan TikTok-nya, mengungkapkan keprihatinannya mengenai kebiasaan makan pasiennya yang mengonsumsi seblak hingga dua kali sehari. Ia mengaitkan pola makan tersebut dengan tingginya angka stunting di Indonesia. Pasien tersebut menjalani observasi selama 14 jam dan kemudian diperbolehkan pulang.
Seblak dan Malnutrisi: Bukan Isu Baru
Isu mengenai seblak dan dampaknya terhadap nutrisi bukanlah hal baru. Pada Januari 2025, ditemukan 8 ribu kasus remaja putri di Karawang yang mengalami anemia. Kondisi ini dikaitkan dengan kebiasaan jajan yang tidak sehat, termasuk konsumsi seblak dan bakso, selain faktor lain seperti menstruasi.
Anemia, menurut Mayo Clinic, adalah kondisi kekurangan hemoglobin (Hb) atau sel darah merah yang sehat, yang penting untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Kekurangan zat besi menjadi salah satu penyebab utama anemia. Selain karena perdarahan, defisiensi zat besi juga seringkali disebabkan oleh pola makan yang tidak seimbang.
Benarkah Seblak Biang Keladinya?
Tudingan bahwa seblak menjadi pemicu anemia sempat menjadi perdebatan. Memang tak dapat dipungkiri bahwa jajanan seperti seblak dan bakso umumnya kurang memberikan asupan zat besi yang memadai.
"Lebih dominan kandungan karbohidratnya, zat besi juga tidak ada," ujar dr. Johanes Chandrawinata, SpGK, seorang ahli gizi, dalam perbincangannya dengan detikcom. Ia menekankan bahwa kandungan gizi seblak lebih didominasi oleh karbohidrat, sementara zat besi sangat minim.
Pakar gizi komunitas, dr. Tan Shot Yen, juga berpendapat serupa. Menurutnya, seblak tidak hanya minim zat besi, tetapi juga tinggi garam, yang dapat memicu berbagai masalah kesehatan lainnya. "Konsumen seblak biasanya juga bukan pemakan menu sehat. Jadi akumulasi pangan amburadul membuat masalah gizi jangka panjang," jelas dr. Tan, menekankan bahwa kebiasaan mengonsumsi seblak seringkali merupakan bagian dari pola makan yang secara keseluruhan kurang sehat.
Pendekatan yang Lebih Komprehensif
Namun, menyalahkan seblak sebagai satu-satunya penyebab masalah gizi, seperti anemia, dinilai kurang tepat. Ada berbagai faktor lain yang perlu diperhatikan dan diatasi.
Dokter spesialis anak dari Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI, Dr. dr. Meta Herdiana Hanindita, SpA(K), menekankan pentingnya pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan penyebab anemia. Menurutnya, meskipun seblak bisa berpengaruh secara tidak langsung, belum tentu menjadi penyebab langsung.
"Kalau memang seblaknya mengurangi konsumsi sumber zat besi hemnya ya bisa aja (memicu anemia). Tapi tidak selalu itu sebab akibat yang pasti karena itu," jelas dr. Meta dalam sebuah sesi temu media daring. Ia menjelaskan bahwa jika konsumsi seblak menggantikan asupan makanan yang kaya zat besi, maka potensi terjadinya anemia bisa meningkat.
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan RI, Lovely Daisy, menyoroti kurangnya pemahaman tentang pola makan sehat sebagai salah satu faktor penyebab anemia defisiensi besi di berbagai wilayah Indonesia. Ia menekankan pentingnya pemenuhan zat gizi mikro, seperti vitamin dan mineral, termasuk zat besi dan asam folat. Kekurangan zat gizi mikro inilah yang seringkali menyebabkan anemia pada anak-anak.
Lebih Dalam tentang Kandungan Seblak
Untuk memahami lebih lanjut mengapa seblak sering dikaitkan dengan masalah gizi, penting untuk menganalisis kandungan nutrisinya. Seblak tradisional umumnya terbuat dari kerupuk basah yang direbus, kemudian dimasak dengan bumbu pedas yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, cabai, kencur, dan bumbu lainnya. Beberapa variasi seblak juga menambahkan bahan-bahan lain seperti telur, sosis, bakso, ceker ayam, atau sayuran.
Secara umum, kerupuk basah sebagai bahan utama seblak memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, namun rendah protein, serat, vitamin, dan mineral. Bumbu-bumbu yang digunakan memberikan sedikit rasa dan aroma, tetapi tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap nilai gizi. Penambahan bahan-bahan lain seperti telur atau daging memang dapat meningkatkan kandungan protein, namun seringkali jumlahnya tidak sebanding dengan kandungan karbohidrat dan lemak.
Selain itu, proses pengolahan seblak, terutama penggunaan minyak goreng yang berlebihan dan penambahan penyedap rasa yang tinggi garam, dapat mengurangi nilai gizi dan meningkatkan risiko masalah kesehatan. Tingginya kandungan garam dalam seblak dapat berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular.
Pentingnya Edukasi dan Pola Makan Seimbang
Dari berbagai pendapat para pakar, dapat disimpulkan bahwa seblak bukanlah satu-satunya penyebab stunting atau malnutrisi, tetapi konsumsi seblak yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan pola makan sehat dapat berkontribusi terhadap masalah tersebut.
Oleh karena itu, edukasi mengenai pentingnya pola makan seimbang dan pemenuhan zat gizi mikro sangatlah penting. Masyarakat perlu diedukasi mengenai makanan-makanan yang kaya zat besi, seperti daging merah, hati ayam, sayuran hijau, dan kacang-kacangan. Selain itu, penting juga untuk mengonsumsi makanan yang kaya vitamin C, karena vitamin C dapat membantu meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh.
Selain itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya memilih jajanan yang sehat dan bergizi. Produsen seblak juga dapat berperan aktif dalam meningkatkan nilai gizi seblak, misalnya dengan menambahkan lebih banyak sayuran, mengurangi penggunaan garam dan penyedap rasa, serta menggunakan bahan-bahan yang lebih berkualitas.
Kesimpulan
Meskipun seblak memiliki cita rasa yang digemari banyak orang, penting untuk mengonsumsinya secara bijak dan tidak berlebihan. Seblak bukanlah makanan yang buruk, tetapi konsumsinya harus diimbangi dengan pola makan yang sehat dan bergizi seimbang. Pemenuhan zat gizi mikro, seperti zat besi, vitamin, dan mineral, sangat penting untuk mencegah stunting, anemia, dan masalah gizi lainnya. Edukasi mengenai pola makan sehat dan pemilihan jajanan yang bergizi menjadi kunci untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia.
[Gambas:Video 20detik]