Kisah pilu kembali menghiasi pelosok negeri. Di Dusun Landu, Desa Piriang Tapiko, Kecamatan Tutar, Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, seorang ibu bernama Harmiani (27 tahun) harus berjuang melahirkan anak ketiganya di atas mobil bak terbuka. Kejadian ini bukan sekadar insiden, melainkan cerminan nyata dari minimnya infrastruktur dan akses layanan kesehatan yang memadai di daerah terpencil. Peristiwa ini terjadi pada Minggu malam, 24 Agustus, sebuah tanggal yang akan selalu diingat sebagai simbol perjuangan seorang ibu dan ketidakberdayaan warga menghadapi keterbatasan.
Harmiani, seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari bergelut dengan kerasnya kehidupan desa, tak menyangka persalinan anak ketiganya akan menjadi pengalaman traumatis. Seharusnya, momen kelahiran seorang anak menjadi saat yang membahagiakan, penuh persiapan dan dukungan medis yang memadai. Namun, bagi Harmiani, semua itu hanyalah impian yang sulit diwujudkan.
Desa Piriang Tapiko, tempat Harmiani tinggal, memang menyimpanIroni. Meski hanya berjarak 3 kilometer dari Desa Tubbi yang memiliki fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, akses menuju desa tersebut terhalang oleh sungai yang lebar dan deras. LebihIronis lagi, tidak ada jembatan yang menghubungkan kedua desa tersebut. Warga selama ini mengandalkan keberanian dan nekat untuk menyeberangi sungai, terutama saat air surut. Namun, ketika musim hujan tiba, sungai meluap dan menjadi penghalang yang tak tertahankan.
Inirwana, sepupu Harmiani, menceritakan bagaimana kepanikan melanda keluarga saat Harmiani mulai merasakan kontraksi. Mereka menyadari bahwa waktu semakin mendesak. Puskesmas terdekat berada di Desa Tubbi, namun sungai yang meluap menjadi penghalang utama. Awalnya, warga berencana untuk membopong Harmiani menyeberangi sungai. Namun, rencana ini urung dilakukan karena kondisi Harmiani yang semakin lemah dan tanda-tanda persalinan yang semakin jelas.
"Kami sudah panik sekali saat itu," ujar Inirwana. "Kami tahu Harmiani harus segera mendapatkan pertolongan medis, tapi sungai terlalu deras untuk diseberangi. Kami tidak punya pilihan lain."
Akhirnya, dengan segala keterbatasan, keluarga memutuskan untuk membawa Harmiani ke tempat yang lebih aman menggunakan mobil bak terbuka. Mereka berharap bisa menemukan tempat yang layak untuk persalinan. Namun, takdir berkata lain. Di tengah perjalanan, Harmiani merasakan dorongan yang tak tertahankan. Bayi itu seolah tak sabar untuk melihat dunia.
"Saat di mobil bak, Harmiani sudah tidak tahan lagi," kata Inirwana. "Dia sudah merasa bayinya akan keluar. Kami semakin panik dan bingung."
Dalam kondisi yang serba darurat, keluarga meminta bantuan seorang "bidan desa". Perlu digarisbawahi, bidan desa ini bukanlah tenaga medis profesional dengan kualifikasi yang memadai. Ia hanyalah seorang warga setempat yang pernah mendapatkan pelatihan singkat untuk membantu bidan dalam proses persalinan. Dengan kata lain, ia hanyalah seorang asisten bidan yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan persalinan secara mandiri.
Di atas mobil bak terbuka yang bergetar-getar, dengan penerangan seadanya, Harmiani berjuang melahirkan anak ketiganya. Bidan desa berusaha semaksimal mungkin membantu proses persalinan dengan peralatan yang sangat minim. Tidak ada peralatan medis standar, tidak ada obat-obatan, bahkan tidak ada tempat yang steril.
"Kami benar-benar tidak punya persiapan apa-apa," tutur Harmiani dengan nada sedih. "Semua terjadi begitu cepat dan mendadak. Saya hanya bisa pasrah dan berdoa."
Keterbatasan peralatan semakin memperburuk situasi. Bahkan, untuk memotong tali pusar bayi, warga terpaksa kembali ke rumah untuk mengambil gunting seadanya. Gunting yang seharusnya digunakan untuk keperluan rumah tangga, kini harus digunakan untuk memotong tali pusar bayi yang baru lahir.
"Saking tidak adanya peralatan, warga sempat balik ke rumah untuk ambil gunting buat gunting tali pusar," ungkap Harmiani.
Namun, di tengah segala keterbatasan dan kesulitan, keajaiban terjadi. Bayi Harmiani lahir dengan selamat. Tangisan bayi memecah kesunyian malam, seolah menjadi simbol harapan di tengah keterbatasan. Harmiani pun selamat, meski kondisinya masih lemah dan membutuhkan perawatan lebih lanjut.
"Alhamdulillah, bayi saya lahir dengan selamat," kata Harmiani dengan mata berkaca-kaca. "Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT atas pertolongan-Nya."
Kisah Harmiani ini menjadi viral dan mendapatkan perhatian luas dari masyarakat. Banyak yang merasa prihatin dan marah atas kondisi infrastruktur dan layanan kesehatan yang buruk di daerah terpencil. Kejadian ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah dan pusat, yang selama ini terkesan abai terhadap nasib warga di pelosok negeri.
Harmiani berharap, kejadian yang menimpanya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Ia berharap, pemerintah segera membangun jembatan yang menghubungkan Desa Piriang Tapiko dengan Desa Tubbi. Dengan adanya jembatan, warga akan lebih mudah mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
"Harapannya, ada jembatan karena sudah banyak kejadian begini," ujar Harmiani. "Puskesmas yang punya fasilitas cuma di desa seberang doang."
Selain jembatan, Harmiani juga berharap pemerintah meningkatkan kualitas layanan kesehatan di desanya. Ia berharap, Puskesmas di Desa Tubbi dilengkapi dengan peralatan medis yang memadai dan tenaga medis yang profesional. Ia juga berharap, pemerintah memberikan pelatihan yang lebih intensif kepada bidan desa, agar mereka memiliki keahlian yang memadai untuk membantu persalinan.
"Saya tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi," kata Harmiani. "Saya ingin semua ibu hamil di desa saya bisa melahirkan dengan aman dan nyaman, tanpa harus mempertaruhkan nyawa."
Kisah Harmiani adalah potret buram dari ketimpangan pembangunan di Indonesia. Di satu sisi, kita melihat kemajuan teknologi dan pembangunan infrastruktur yang pesat di kota-kota besar. Namun, di sisi lain, masih banyak warga di daerah terpencil yang hidup dalam keterbatasan dan kesulitan. Mereka harus berjuang untuk mendapatkan akses layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang layak.
Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan nasib warga di daerah terpencil. Pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas layanan kesehatan harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai ada lagi ibu hamil yang terpaksa melahirkan di mobil bak terbuka, hanya karena tidak ada jembatan dan fasilitas kesehatan yang memadai.
Kisah Harmiani adalah panggilan untuk bertindak. Ini adalah saatnya bagi kita semua untuk bersatu dan memperjuangkan hak-hak warga di daerah terpencil. Kita harus memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia, tanpa terkecuali, mendapatkan akses layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang layak. Keadilan dan kesejahteraan harus merata di seluruh pelosok negeri, dari Sabang sampai Merauke.
Selain itu, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap program-program kesehatan yang ada di daerah terpencil. Pemerintah perlu memastikan bahwa program-program tersebut berjalan efektif dan tepat sasaran. Pemerintah juga perlu melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program kesehatan.
Penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan ibu dan anak. Masyarakat perlu diberikan informasi yang akurat dan terpercaya tentang kehamilan, persalinan, dan perawatan bayi. Masyarakat juga perlu didorong untuk memeriksakan diri secara rutin ke fasilitas kesehatan, terutama selama masa kehamilan.
Kasus Harmiani juga menyoroti pentingnya peran bidan desa. Bidan desa adalah garda terdepan dalam memberikan layanan kesehatan di daerah terpencil. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan dukungan yang memadai kepada bidan desa, baik dari segi pelatihan, peralatan, maupun insentif. Bidan desa juga perlu diberikan kesempatan untuk meningkatkan kompetensi mereka melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan.
Kisah Harmiani adalah pengingat bagi kita semua bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam pembangunan Indonesia. Kita tidak boleh terlena dengan kemajuan yang ada di kota-kota besar, sementara masih banyak warga di daerah terpencil yang hidup dalam keterbatasan dan kesulitan. Kita harus terus berjuang untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur bagi seluruh rakyatnya.
Pemerintah daerah setempat juga harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Mereka harus segera mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki infrastruktur dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Desa Piriang Tapiko. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi di kemudian hari.
Kisah Harmiani adalah cermin bagi kita semua. Ini adalah saatnya untuk introspeksi dan berbenah diri. Kita harus lebih peduli terhadap nasib sesama, terutama mereka yang hidup dalam keterbatasan dan kesulitan. Kita harus bersatu dan bekerja sama untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, adil, dan makmur bagi seluruh rakyatnya.
Semoga kisah Harmiani ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus berjuang demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan dan petunjuk kepada kita semua. Amin.