Persidangan kasus dugaan suap terkait vonis lepas dalam perkara korupsi izin ekspor Crude Palm Oil (CPO) kembali mengungkap fakta baru. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) menghadirkan pengacara bernama Ariyanto Bakri sebagai saksi kunci dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8). Ariyanto, yang juga berstatus tersangka dalam kasus yang sama, memberikan kesaksian yang memberatkan lima terdakwa, termasuk tiga hakim yang memvonis lepas terdakwa korporasi CPO.
Kelima terdakwa tersebut adalah mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus), Muhammad Arif Nuryanta, mantan Panitera Muda PN Jakpus, Wahyu Gunawan, serta tiga hakim yang menjadi majelis dalam perkara CPO, yaitu Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom. Kehadiran Ariyanto sebagai saksi diharapkan dapat memberikan titik terang terkait aliran dana yang diduga mempengaruhi putusan kontroversial tersebut.
Sorotan utama dalam persidangan kali ini adalah terungkapnya pemberian uang sebesar USD 5.000 yang disebut sebagai "welcome drink" oleh Ariyanto. Uang tersebut diserahkan kepada Wahyu Gunawan, yang kemudian mengklaim bahwa uang tersebut adalah "uang baca berkas." Pengungkapan ini memicu pertanyaan mendalam dari JPU mengenai maksud dan tujuan pemberian uang tersebut, serta kaitannya dengan penanganan perkara persetujuan ekspor CPO.
JPU mencecar Ariyanto mengenai istilah "welcome drink" dan "uang baca berkas" yang digunakan dalam konteks pemberian uang tersebut. Jaksa menanyakan, "Ada istilah yang saksi sebutkan ‘welcome drink’, [USD] 5.000. Ada istilah yang digunakan, uang yang saksi berikan kepada Wahyu itu ‘uang baca berkas’, dengan objek yang sama uang. Satu, [menyebut] ‘uang baca berkas’, satu [menyebut] ‘welcome drink’. Itu menurut saksi, dan istilah menurut dari penerima di situ ‘uang baca berkas’. [USD] 5.000 menurut saksi itu berapa kalau di-rupiahkan?"
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ariyanto menjawab, "Dengan asumsi [kurs] 15 ribu, tidak sampai Rp 100 juta mungkin, Pak." Jawaban ini menimbulkan keheranan dari pihak JPU, mengingat dalam dakwaan sebelumnya disebutkan bahwa "uang baca berkas" yang diberikan pertama kali bernilai Rp 8 miliar, yang kemudian disusul dengan pemberian uang senilai Rp 32 miliar. Perbedaan signifikan antara nilai yang diakui Ariyanto dengan nilai yang tertera dalam dakwaan memunculkan indikasi adanya upaya untuk menyembunyikan atau mengecilkan peran dalam praktik suap ini.
Ariyanto kemudian mengklaim bahwa total uang yang diberikan kepada Wahyu dalam pengurusan vonis perkara persetujuan ekspor CPO mencapai Rp 60 miliar. Ia juga menegaskan bahwa pemberian uang "welcome drink" merupakan tambahan di luar jumlah tersebut. "Saya katakan tadi Rp 60 miliar sudah clear, tinggal yang uang baca berkas. Silakan," kata jaksa. Ariyanto menimpali, "Kalau mengenai uang baca berkas itu istilah-istilah, ya, Pak, ya."
Ketua Majelis Hakim, Effendi, kemudian mengambil alih pertanyaan dan meminta Ariyanto untuk mengkonversi nilai uang USD 5.000 ke dalam rupiah. "Pertanyaannya USD 5.000 itu kalau dirupiahkan berapa?" tanya Hakim Effendi. Ariyanto menjawab, "Tidak sampai Rp 100 juta, [kurs] Rp 15 [ribu] kali 5 [ribu] lah. Dengan asumsi waktu itu 15 ribu per dolar, Pak. Oh, maaf, Rp 75 juta, Pak, Rp 75 juta."
Sebelumnya, dalam surat dakwaan, JPU telah mengungkapkan adanya "uang baca berkas" yang diserahkan terkait dengan vonis lepas yang diberikan kepada terdakwa korporasi dalam kasus persetujuan ekspor CPO. Tiga korporasi yang dimaksud adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Perkara ini diadili oleh Djuyamto sebagai Ketua Majelis Hakim, dengan Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom sebagai hakim anggota.
Dalam dakwaan tersebut, JPU juga menyoroti peran Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, dalam menyerahkan "uang baca berkas" kepada Djuyamto. Pembagian uang tersebut dilakukan pada Juni 2024 di ruang kerja Arif, yang dihadiri oleh Djuyamto dan Agam Syarief. Pada kesempatan itu, Arif menyatakan bahwa uang tersebut merupakan titipan untuk membaca berkas.
"Lalu, terdakwa Djuyamto mengatakan, ‘apa itu, Pak, kok belum-belum sudah ada’, dan dijawab Muhammad Arif Nuryanta, ‘sudah bawa saja, uang ini untuk Majelis Hakim yang menangani perkara korupsi korporasi minyak goreng’," ungkap jaksa saat membacakan surat dakwaan pada Rabu (20/8) lalu.
Singkat cerita, Djuyamto kemudian memanggil Ali Muhtarom ke ruang kerjanya di PN Jakarta Pusat. Agam Syarief kemudian meminta agar uang pecahan USD 100 dan SGD 1.000 yang diterima dari Arif segera dibagikan. Setelah dihitung, total uang tersebut mencapai Rp 3.900.000.000. Uang tersebut kemudian dibagi-bagikan, dengan Ali Muhtarom dan Agam Syarief masing-masing menerima Rp 1.100.000.000, sementara Djuyamto menerima bagian terbesar, yaitu Rp 1.700.000.000.
"Setelah pembagian ‘uang baca berkas’ tersebut, Djuyamto menyampaikan kepada Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom bahwa perkara korupsi korporasi minyak goreng agar dibantu karena menjadi atensi dari Muhammad Arif Nuryanta," ungkap jaksa.
Ketiga hakim yang menjatuhkan vonis lepas dalam perkara persetujuan ekspor CPO tersebut didakwa menerima suap dan gratifikasi. Djuyamto, Agam, dan Ali Muhtarom didakwa menerima suap secara bersama-sama dengan Muhammad Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan. Kelimanya didakwa menerima total uang suap sebesar Rp 40 miliar dalam menjatuhkan vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.
Dalam dakwaan, JPU menyebutkan bahwa uang suap tersebut diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe’i, yang merupakan advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Uang suap senilai Rp 40 miliar itu kemudian dibagi-bagi oleh Arif, Wahyu, dan ketiga hakim yang mengadili perkara persetujuan ekspor CPO.
Rinciannya, Arif didakwa menerima bagian suap sebesar Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima sekitar Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing mendapatkan bagian uang suap senilai Rp 6,2 miliar.
Atas perbuatan mereka, Arif didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, Wahyu didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Djuyamto, Agam, dan Ali didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus suap vonis lepas CPO ini menjadi sorotan publik karena melibatkan sejumlah pejabat peradilan yang seharusnya menjunjung tinggi integritas dan keadilan. Pengungkapan adanya "uang welcome drink" dan "uang baca berkas" semakin memperkuat dugaan adanya praktik korupsi yang sistematis dalam proses peradilan. Masyarakat berharap agar persidangan ini dapat mengungkap seluruh fakta yang tersembunyi dan menyeret semua pihak yang terlibat ke pengadilan.
Selain itu, kasus ini juga menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem peradilan di Indonesia. Perlu adanya peningkatan pengawasan dan transparansi dalam proses penanganan perkara, serta penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku korupsi. Dengan demikian, diharapkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dapat dipulihkan dan keadilan dapat ditegakkan secara adil dan merata.
Lebih lanjut, kasus ini juga menyoroti pentingnya peran advokat dalam menjaga integritas dan etika profesi. Advokat seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan keadilan, bukan malah terlibat dalam praktik suap dan korupsi. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap perilaku advokat, serta penegakan sanksi yang tegas terhadap mereka yang melanggar kode etik profesi.
Dengan terungkapnya kasus suap vonis lepas CPO ini, diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama para penegak hukum dan pejabat publik. Korupsi merupakan musuh bersama yang harus diperangi secara bersama-sama. Dengan kerja sama dan komitmen yang kuat dari semua pihak, diharapkan Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Sidang lanjutan kasus ini diharapkan dapat mengungkap lebih banyak fakta dan bukti yang akan memperjelas peran masing-masing terdakwa dalam praktik suap ini. Masyarakat akan terus memantau perkembangan kasus ini dan berharap agar keadilan dapat ditegakkan seadil-adilnya.