Kasus penyiksaan dan penelantaran seorang anak perempuan berusia 7 tahun, yang dikenal sebagai Juna, menggemparkan publik setelah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada Juni lalu. Setelah buron selama tiga bulan, dua pelaku yang bertanggung jawab atas perbuatan keji tersebut, Eni Fitriyah alias Ayah Juna (40) dan pasangan sejenisnya, Siti Nur Khaukah (42), berhasil diringkus oleh tim gabungan Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan Dittipid PPA-PPO Bareskrim Polri di sebuah indekos di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Penangkapan kedua pelaku membuka tabir gelap mengenai motif di balik penyiksaan brutal yang dialami Juna. Berdasarkan keterangan awal, Eni dan Siti mengaku bahwa tindakan mereka dipicu oleh faktor beban ekonomi dan perilaku Juna yang dianggap nakal. Namun, Dirtipid PPA-PPO Bareskrim Polri, Brigjen Pol Nurul Azizah, menegaskan bahwa apa pun alasannya, kekerasan terhadap anak tidak dapat dibenarkan.
"Dari keterangan awal, pelaku menyebut faktor beban dan perilaku anak yang dianggap nakal. Namun kami tegaskan, apa pun alasannya, tidak ada satu pun yang bisa membenarkan kekerasan terhadap anak," ujar Brigjen Pol Nurul Azizah.
Motif Ekonomi: Jeratan Kemiskinan dan Tekanan Hidup
Salah satu faktor utama yang mendorong tindakan keji Eni dan Siti adalah masalah ekonomi yang membelit mereka. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, kehadiran Juna dan saudara kembarnya menjadi beban tambahan bagi mereka. Tekanan hidup yang semakin berat membuat Eni dan Siti kehilangan kendali diri dan melampiaskan frustrasi mereka kepada Juna.
Kemiskinan sering kali menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan terhadap anak. Keluarga yang hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit cenderung mengalami stres yang lebih tinggi, kurangnya akses terhadap sumber daya, dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah. Akibatnya, anak-anak menjadi korban pelampiasan kemarahan dan kekecewaan orang tua.
Perilaku Anak Dianggap Nakal: Alasan Klasik yang Tidak Dapat Diterima
Alasan lain yang dikemukakan oleh Eni dan Siti adalah perilaku Juna yang dianggap nakal. Mereka mengklaim bahwa Juna sering membangkang, sulit diatur, dan melakukan hal-hal yang membuat mereka kesal. Namun, perlu diingat bahwa Juna masih seorang anak kecil yang membutuhkan bimbingan dan kasih sayang, bukan kekerasan dan penyiksaan.
Menyalahkan perilaku anak sebagai pembenaran atas kekerasan adalah alasan klasik yang sering digunakan oleh pelaku kekerasan terhadap anak. Padahal, perilaku anak yang dianggap "nakal" sering kali merupakan manifestasi dari masalah yang lebih dalam, seperti kurangnya perhatian, trauma, atau gangguan perkembangan. Alih-alih menghukum anak, orang tua seharusnya mencari tahu penyebab perilaku tersebut dan memberikan solusi yang tepat.
Trauma Masa Lalu: Lingkaran Kekerasan yang Terus Berulang
Selain faktor ekonomi dan perilaku anak, ada kemungkinan bahwa Eni dan Siti juga memiliki trauma masa lalu yang belum terselesaikan. Trauma masa lalu dapat memengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku, termasuk dalam mengasuh anak. Orang yang pernah menjadi korban kekerasan di masa kecil cenderung melakukan kekerasan yang sama kepada anak-anak mereka.
Lingkaran kekerasan ini terus berulang dari generasi ke generasi jika tidak ada intervensi yang tepat. Korban kekerasan harus mendapatkan dukungan psikologis dan sosial untuk memutus rantai kekerasan tersebut.
Penyiksaan Brutal: Rangkaian Tindakan Keji yang Tidak Manusiawi
Penyiksaan yang dialami Juna sangat mengerikan dan tidak manusiawi. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Eni dan Siti sering memukul, menendang, membanting, menyiram bensin, dan membakar wajah Juna di kebun tebu. Tak hanya itu, Juna juga dipukul dengan kayu hingga tulangnya patah, dibacok dengan golok, dan disiram air panas.
"Dengan cara dibakar pakai bensin oleh Eni Fitriyah, disiram air panas oleh Siti. Dan korban selalu dipukul berulang-ulang dan disuruh makan basi dan air keran oleh Eni," ungkap Kasatreskrim Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, AKP M. Prasetyo.
Siti, yang merupakan ibu kandung Juna, mengetahui penyiksaan yang dilakukan oleh Eni, tetapi ia membiarkannya terjadi. Tindakan Siti ini menunjukkan bahwa ia tidak memiliki rasa kasih sayang dan tanggung jawab sebagai seorang ibu.
Mengapa Hanya Juna yang Menjadi Korban?
Fakta bahwa Juna memiliki saudara kembar, tetapi hanya dia yang menjadi korban penyiksaan, menimbulkan pertanyaan besar. Apa yang menyebabkan Eni dan Siti hanya menyiksa Juna, sementara saudara kembarnya tidak?
Brigjen Pol Nurul Azizah menjelaskan bahwa pihaknya masih mendalami hal ini melalui pemeriksaan lanjutan, observasi psikologis, dan pengumpulan keterangan saksi. Polri berhati-hati agar tidak menimbulkan stigma atau dampak psikologis tambahan bagi anak-anak.
Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan mengapa hanya Juna yang menjadi korban. Pertama, Juna mungkin memiliki karakter atau perilaku yang lebih menantang dibandingkan saudara kembarnya. Kedua, Juna mungkin mengingatkan Eni atau Siti pada seseorang dari masa lalu mereka yang tidak mereka sukai. Ketiga, Juna mungkin menjadi sasaran pelampiasan kemarahan dan kekecewaan Eni dan Siti karena suatu hal.
Prioritas Utama: Perlindungan dan Pemulihan Korban
Saat ini, fokus utama penyidik Dittipid PPA-PPO Bareskrim Polri adalah memberikan perlindungan dan pemulihan kepada Juna dan saudara kembarnya. Keselamatan, kesehatan, pendidikan, serta pemulihan psikososial kedua anak tersebut menjadi prioritas utama.
"Keselamatan, kesehatan, pendidikan, serta pemulihan psikososial. Proses hukum berjalan, tetapi perlindungan anak adalah prioritas utama kami," tegas Brigjen Pol Nurul Azizah.
Juna dan saudara kembarnya akan mendapatkan perawatan medis dan psikologis yang komprehensif untuk mengatasi trauma yang mereka alami. Mereka juga akan ditempatkan di lingkungan yang aman dan suportif agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Ancaman Hukuman Berat Menanti Pelaku
Atas perbuatan kejinya, Eni dan Siti dijerat dengan Pasal 76B juncto 77B dan Pasal 76C juncto 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan Pasal 354 KUHP Tentang Penganiayaan Berat. Mereka terancam hukuman penjara maksimal 8 tahun.
Hukuman ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan. Selain itu, hukuman ini juga merupakan bentuk keadilan bagi Juna dan saudara kembarnya yang telah menjadi korban kekerasan.
Pentingnya Peran Masyarakat dan Pemerintah
Kasus penyiksaan dan penelantaran Juna menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya peran masyarakat dan pemerintah dalam melindungi anak-anak dari kekerasan. Masyarakat harus lebih peka terhadap lingkungan sekitar dan segera melaporkan jika melihat atau mendengar adanya indikasi kekerasan terhadap anak.
Pemerintah juga harus meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak, termasuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hak-hak anak dan cara mengasuh anak yang benar. Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan layanan dukungan bagi korban kekerasan dan keluarga yang berisiko.
Kesimpulan
Kasus penyiksaan dan penelantaran Juna adalah tragedi yang tidak seharusnya terjadi. Motif di balik kekejaman ‘Ayah Juna’ dan pasangannya sangat kompleks, melibatkan faktor ekonomi, perilaku anak yang dianggap nakal, dan trauma masa lalu. Namun, apa pun alasannya, kekerasan terhadap anak tidak dapat dibenarkan.
Prioritas utama saat ini adalah memberikan perlindungan dan pemulihan kepada Juna dan saudara kembarnya. Selain itu, pelaku harus dihukum seberat-beratnya agar jera dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.
Penting bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perlindungan anak dan berperan aktif dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap anak. Dengan kerja sama yang baik antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga terkait, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi tumbuh kembang anak-anak Indonesia.