TikTok, platform media sosial video pendek yang sangat populer, tengah menjadi sorotan karena rencananya untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ratusan karyawannya di Inggris. Langkah ini diambil seiring dengan peningkatan investasi perusahaan dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk memoderasi konten yang diunggah oleh para pengguna. PHK ini memicu perdebatan sengit tentang dampak otomatisasi terhadap tenaga kerja manusia, khususnya dalam industri teknologi.
Menurut laporan yang beredar, karyawan TikTok di Inggris yang bekerja di departemen Trust and Safety menerima pemberitahuan melalui email pada hari Jumat yang lalu. Email tersebut menyatakan bahwa pekerjaan moderasi konten tidak akan lagi dilakukan di London, melainkan akan dipindahkan ke lokasi lain di Eropa. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan strategi perusahaan dalam mengelola dan memantau konten yang beredar di platformnya.
Aplikasi yang dimiliki oleh ByteDance ini mengumumkan bahwa ratusan karyawan di tim Trust and Safety di berbagai wilayah, termasuk Inggris, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, akan terkena dampak PHK. Kebijakan ini merupakan bagian dari reorganisasi global yang sedang dilakukan oleh TikTok dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas moderasi kontennya. Langkah ini juga mencerminkan tren yang lebih luas di industri teknologi, di mana perusahaan semakin mengandalkan AI untuk mengotomatiskan tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh manusia.
Juru bicara TikTok menyatakan bahwa reorganisasi ini bertujuan untuk memperkuat model operasi global perusahaan untuk Trust and Safety. Hal ini mencakup pemusatan operasi di lebih sedikit lokasi secara global, yang diharapkan dapat meningkatkan koordinasi dan efisiensi dalam moderasi konten. Namun, langkah ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi dampak negatif terhadap kualitas moderasi konten dan kesejahteraan karyawan yang terkena PHK.
Communication Workers Union (CWU), sebuah serikat pekerja yang mewakili karyawan di sektor komunikasi, mengkritik keras keputusan PHK ini. Mereka berpendapat bahwa keputusan ini lebih mementingkan keserakahan perusahaan daripada keselamatan pekerja dan masyarakat. CWU juga menyoroti kekhawatiran yang telah lama disuarakan oleh karyawan TikTok tentang dampak negatif dari pemangkasan tim moderasi manusia demi alternatif AI yang dikembangkan secara tergesa-gesa dan belum matang.
John Chadfield, CWU National Officer for Tech, menyatakan bahwa pemangkasan karyawan ini diumumkan hanya seminggu sebelum stafnya di London dijadwalkan melakukan voting terkait serikat pekerja. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang motivasi di balik keputusan PHK ini dan apakah ada upaya untuk menghalangi pembentukan serikat pekerja di TikTok. CWU memperkirakan bahwa sekitar 300 orang yang bekerja di divisi Trust and Safety TikTok akan terdampak PHK, yang akan berdampak signifikan pada kehidupan mereka dan keluarga mereka.
TikTok menawarkan kepada karyawan yang terdampak PHK kesempatan untuk mendaftar ke posisi internal lainnya di perusahaan. Mereka akan menjadi prioritas jika memenuhi persyaratan minimum. Namun, tidak ada jaminan bahwa semua karyawan yang terkena PHK akan dapat menemukan posisi yang sesuai di dalam perusahaan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi pengangguran dan kesulitan keuangan bagi para karyawan yang terkena dampak.
TikTok berpendapat bahwa penggunaan AI untuk moderasi konten akan memaksimalkan efektivitas dan kecepatan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Mereka juga mengklaim bahwa penggunaan AI akan membantu mengurangi paparan moderator manusia terhadap konten yang mengerikan, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional mereka. Namun, para kritikus berpendapat bahwa AI belum sepenuhnya mampu memahami konteks dan nuansa bahasa manusia, sehingga dapat menghasilkan kesalahan dalam moderasi konten.
Platform video pendek ini menggunakan kombinasi sistem otomatis dan moderator manusia untuk memoderasi konten. Sekitar 85% postingan TikTok yang melanggar aturan dihapus oleh sistem otomatis, termasuk AI. Namun, 15% sisanya memerlukan intervensi manusia untuk memastikan bahwa keputusan moderasi yang tepat diambil. Hal ini menunjukkan bahwa peran manusia masih sangat penting dalam moderasi konten, meskipun dengan adanya kemajuan dalam teknologi AI.
Keputusan TikTok untuk melakukan PHK dan menggantinya dengan AI mencerminkan tren yang lebih luas di industri teknologi, di mana perusahaan semakin mengandalkan otomatisasi untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya. Namun, tren ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi dampak negatif terhadap tenaga kerja manusia dan kualitas layanan. Penting bagi perusahaan untuk mempertimbangkan dampak sosial dan etika dari keputusan mereka dalam mengadopsi teknologi baru.
PHK yang direncanakan oleh TikTok juga menyoroti pentingnya peran serikat pekerja dalam melindungi hak-hak karyawan. Serikat pekerja dapat membantu memastikan bahwa karyawan diperlakukan dengan adil dan bahwa suara mereka didengar dalam proses pengambilan keputusan. Mereka juga dapat membantu karyawan untuk mendapatkan pelatihan dan dukungan yang mereka butuhkan untuk beradaptasi dengan perubahan di tempat kerja.
Kasus TikTok ini menjadi contoh bagaimana teknologi AI dapat mengubah lanskap pekerjaan dan menimbulkan tantangan baru bagi karyawan dan perusahaan. Penting bagi pemerintah, perusahaan, dan serikat pekerja untuk bekerja sama untuk memastikan bahwa transisi ke otomatisasi dilakukan dengan cara yang adil dan berkelanjutan, yang memberikan manfaat bagi semua pihak. Hal ini termasuk berinvestasi dalam pelatihan dan pendidikan untuk membantu pekerja mengembangkan keterampilan baru yang dibutuhkan di pasar kerja yang terus berubah.
Selain itu, perlu ada regulasi yang jelas tentang penggunaan AI dalam moderasi konten untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adil, akurat, dan transparan. Regulasi ini juga harus melindungi hak-hak pengguna untuk berekspresi secara bebas dan mendapatkan informasi yang akurat.
Keputusan TikTok untuk melakukan PHK dan menggantinya dengan AI merupakan isu kompleks yang memiliki implikasi luas bagi industri teknologi, tenaga kerja manusia, dan masyarakat secara keseluruhan. Penting untuk terus memantau perkembangan ini dan terlibat dalam diskusi yang konstruktif tentang bagaimana teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan kehidupan kita tanpa mengorbankan hak-hak dan kesejahteraan karyawan.
Dengan perkembangan AI yang semakin pesat, perusahaan-perusahaan teknologi dihadapkan pada pilihan sulit antara meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya dengan otomatisasi, atau mempertahankan tenaga kerja manusia dan memastikan kualitas layanan yang tinggi. Keputusan yang diambil oleh perusahaan-perusahaan ini akan berdampak signifikan pada masa depan pekerjaan dan ekonomi global.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang berkepentingan untuk terlibat dalam dialog yang terbuka dan jujur tentang bagaimana teknologi dapat digunakan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua. Hal ini termasuk mempertimbangkan implikasi etika dan sosial dari penggunaan AI, serta memastikan bahwa karyawan memiliki keterampilan dan dukungan yang mereka butuhkan untuk beradaptasi dengan perubahan di tempat kerja.
Kasus TikTok ini menjadi pengingat bahwa teknologi adalah alat yang dapat digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Tergantung pada bagaimana kita menggunakannya, teknologi dapat membantu kita menciptakan dunia yang lebih adil, makmur, dan berkelanjutan, atau justru memperburuk kesenjangan dan menciptakan masalah baru.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berhati-hati dan bijaksana dalam mengadopsi teknologi baru, dan selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap manusia dan masyarakat. Dengan melakukan hal ini, kita dapat memastikan bahwa teknologi digunakan untuk meningkatkan kehidupan kita dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua.