Fenomena baru bernama "job hugging" sedang menjadi perbincangan hangat di dunia kerja, terutama di kalangan generasi Z dan milenial. Berbeda dengan "job hopping" yang menekankan pada perpindahan pekerjaan secara berkala untuk mencari pengalaman baru, gaji lebih tinggi, atau perkembangan karir yang lebih cepat, "job hugging" justru menggambarkan kondisi di mana seorang karyawan bertahan dalam pekerjaannya saat ini, meskipun mereka merasa tidak bahagia atau tidak puas dengan pekerjaan tersebut.
Meskipun pada pandangan pertama mungkin terlihat tidak terlalu buruk, para ahli memperingatkan bahwa tren "job hugging" ini dapat membawa konsekuensi yang lebih serius daripada yang disadari banyak orang. Rebecca Houghton, seorang pakar manajemen menengah dan pendiri BoldHR, menjelaskan bahwa fenomena ini muncul karena adanya rasa takut akan ketidakstabilan pasar kerja. "Para pekerja tidak ‘memeluk’ pekerjaan mereka karena mereka mencintainya. Mereka ‘memeluk’ pekerjaan mereka karena, sejujurnya, alternatif yang mereka punya saat ini terlihat lebih buruk," ungkapnya kepada news.com.au.
Kecemasan ekonomi dan dampak global dari pandemi COVID-19, restrukturisasi perusahaan, ketakutan akan otomatisasi pekerjaan oleh kecerdasan buatan (AI), dan berbagai faktor lainnya menjadi pendorong utama munculnya tren "job hugging". Houghton menambahkan bahwa banyak orang saat ini merasa lelah dan tertekan, dengan penelitian terbaru dari BoldHR menunjukkan bahwa satu dari tiga manajer yang disurvei di Australia mengalami kelelahan. Kombinasi antara kelelahan dan ketidakpastian ekonomi ini membuat banyak orang cenderung mencari keamanan dan kenyamanan dalam pekerjaan yang sudah mereka kenal, meskipun pekerjaan tersebut tidak memberikan kebahagiaan atau kepuasan.
Houghton memperingatkan para pemimpin perusahaan untuk memikirkan dengan serius dampak jangka panjang dari tren "job hugging" ini. Karyawan yang hanya terpaku pada pekerjaan mereka karena merasa tidak ada pilihan lain cenderung tidak loyal terhadap perusahaan. "Begitu pasar membaik, mereka akan menjadi yang pertama keluar. Diam-diam. Cepat. Para pemimpin yang cerdas tidak akan menunggu eksodus," tegasnya. Ia menyarankan agar para pemimpin perusahaan bertindak sekarang dengan membangun tempat kerja yang menarik dan membuat karyawan memilih untuk tetap tinggal, bukan tempat yang belum mereka tinggalkan karena terpaksa.
Tren "job hugging" ini tampaknya semakin menguat secara global, termasuk di Australia. Data terbaru dari Biro Statistik Australia (ABS) menunjukkan bahwa tingkat mobilitas kerja di Australia telah menurun selama dua tahun berturut-turut, dan kini mencapai 7,7 persen. Ini berarti bahwa hanya sekitar 1,1 juta orang, atau hampir delapan persen dari total pekerja, yang berganti pekerjaan atau bisnis dalam 12 bulan terakhir hingga Februari 2025. Jumlah ini menurun secara signifikan sejak periode COVID-19, di mana tingkat mobilitas kerja sempat meningkat menjadi 9,6 persen pada Februari 2023.
Rich Lewis-Jones, vice president APAC dari SmartRecruiters, sebuah perusahaan penyedia perangkat lunak akuisisi talenta, menyatakan bahwa tren "job hugging" ini merupakan sinyal pergeseran besar dalam dinamika perekrutan. "Ketidakstabilan ekonomi, ketidakpastian pekerjaan yang didorong oleh AI, dan pertumbuhan pekerjaan yang lambat telah menjadikan stabilitas sebagai prioritas daripada peluang baru, terutama di kalangan Gen Z dan profesional muda," jelas Lewis-Jones kepada news.com.au.
Faktor-faktor Pendorong "Job Hugging" Lebih Dalam
Untuk memahami fenomena "job hugging" secara lebih komprehensif, penting untuk menggali lebih dalam faktor-faktor yang mendorong tren ini, khususnya di kalangan generasi Z dan milenial:
-
Krisis Ekonomi dan Ketidakpastian Global: Pandemi COVID-19 telah menyebabkan resesi ekonomi global yang signifikan, memicu gelombang PHK dan pembekuan perekrutan di berbagai industri. Perang di Ukraina dan konflik geopolitik lainnya semakin memperburuk ketidakpastian ekonomi global. Dalam situasi seperti ini, banyak orang merasa takut untuk mengambil risiko dengan berganti pekerjaan, dan lebih memilih untuk bertahan di pekerjaan yang sudah ada, meskipun tidak ideal.
-
Otomatisasi dan Ancaman AI: Kemajuan teknologi, khususnya di bidang kecerdasan buatan (AI), telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi hilangnya pekerjaan akibat otomatisasi. Banyak pekerjaan rutin dan berulang yang dulunya dilakukan oleh manusia kini dapat dilakukan oleh mesin atau perangkat lunak AI dengan lebih efisien dan murah. Hal ini membuat banyak orang merasa tidak aman dengan pekerjaan mereka dan enggan untuk mencari pekerjaan baru, karena takut akan menghadapi persaingan yang ketat dengan mesin atau AI.
-
Beban Finansial dan Utang: Generasi Z dan milenial seringkali menghadapi beban finansial yang lebih berat dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka harus membayar biaya pendidikan yang tinggi, cicilan rumah, dan berbagai tagihan lainnya. Dalam situasi seperti ini, stabilitas pekerjaan menjadi sangat penting untuk memastikan kemampuan mereka membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan hidup.
-
Keseimbangan Kehidupan Kerja (Work-Life Balance): Meskipun generasi Z dan milenial menghargai fleksibilitas dan keseimbangan kehidupan kerja, banyak dari mereka juga merasa tertekan untuk bekerja lebih keras dan lebih lama untuk mencapai kesuksesan karir. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan dan stres, yang pada akhirnya membuat mereka enggan untuk mencari pekerjaan baru yang mungkin menuntut lebih banyak waktu dan energi.
-
Kurangnya Peluang Pengembangan Karir: Beberapa karyawan mungkin merasa terjebak dalam pekerjaan mereka karena kurangnya peluang pengembangan karir di perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka mungkin merasa tidak memiliki kesempatan untuk belajar keterampilan baru, mengambil tanggung jawab yang lebih besar, atau naik jabatan. Namun, karena takut akan ketidakpastian pasar kerja, mereka tetap bertahan di pekerjaan tersebut daripada mencari peluang yang lebih baik di tempat lain.
Dampak Negatif "Job Hugging" bagi Karyawan dan Perusahaan
Tren "job hugging" dapat memiliki dampak negatif yang signifikan, baik bagi karyawan maupun perusahaan:
-
Bagi Karyawan:
- Penurunan Kepuasan Kerja: Karyawan yang tidak bahagia atau tidak puas dengan pekerjaan mereka cenderung mengalami penurunan kepuasan kerja. Hal ini dapat menyebabkan stres, kelelahan, dan bahkan depresi.
- Kurangnya Motivasi dan Produktivitas: Karyawan yang tidak termotivasi cenderung kurang produktif dan tidak memberikan kinerja terbaik mereka.
- Hambatan Pengembangan Karir: Bertahan dalam pekerjaan yang tidak menantang atau tidak memberikan peluang pengembangan karir dapat menghambat pertumbuhan profesional karyawan.
- Potensi Burnout: Karyawan yang terus-menerus merasa stres dan tidak puas dengan pekerjaan mereka berisiko mengalami burnout.
-
Bagi Perusahaan:
- Penurunan Produktivitas: Karyawan yang tidak termotivasi dan tidak produktif dapat menurunkan produktivitas perusahaan secara keseluruhan.
- Peningkatan Tingkat Absensi: Karyawan yang tidak bahagia atau stres cenderung lebih sering absen dari pekerjaan.
- Penurunan Kualitas Layanan: Karyawan yang tidak puas cenderung memberikan layanan yang kurang baik kepada pelanggan.
- Kesulitan Mempertahankan Talenta: Karyawan yang tidak puas cenderung mencari pekerjaan di tempat lain begitu pasar kerja membaik, sehingga perusahaan berisiko kehilangan talenta-talenta terbaiknya.
- Inovasi Terhambat: Karyawan yang tidak termotivasi cenderung kurang inovatif dan kurang berkontribusi pada pengembangan produk atau layanan baru.
Solusi untuk Mengatasi Tren "Job Hugging"
Untuk mengatasi tren "job hugging" dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif dan produktif, perusahaan perlu mengambil langkah-langkah berikut:
-
Meningkatkan Komunikasi dan Transparansi: Perusahaan perlu meningkatkan komunikasi dengan karyawan tentang kondisi perusahaan, strategi bisnis, dan peluang karir. Transparansi dapat membantu mengurangi kecemasan karyawan dan meningkatkan kepercayaan mereka terhadap perusahaan.
-
Memberikan Peluang Pengembangan Karir: Perusahaan perlu menyediakan peluang pengembangan karir yang jelas dan terstruktur bagi karyawan, seperti pelatihan, mentoring, dan promosi internal.
-
Meningkatkan Keseimbangan Kehidupan Kerja (Work-Life Balance): Perusahaan perlu mendorong keseimbangan kehidupan kerja yang sehat bagi karyawan, dengan menawarkan fleksibilitas kerja, cuti yang cukup, dan dukungan untuk kesehatan mental dan fisik.
-
Menciptakan Budaya Kerja yang Positif: Perusahaan perlu menciptakan budaya kerja yang positif dan inklusif, di mana karyawan merasa dihargai, didukung, dan dihormati.
-
Memberikan Pengakuan dan Penghargaan: Perusahaan perlu memberikan pengakuan dan penghargaan kepada karyawan atas kinerja dan kontribusi mereka.
-
Melakukan Survei Keterlibatan Karyawan: Perusahaan perlu melakukan survei keterlibatan karyawan secara berkala untuk mengukur tingkat kepuasan dan motivasi karyawan, serta mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan.
Dengan mengambil langkah-langkah ini, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih menarik dan membuat karyawan memilih untuk tetap tinggal, bukan karena terpaksa, tetapi karena mereka benar-benar merasa dihargai dan memiliki masa depan yang cerah di perusahaan tersebut. Hal ini akan berdampak positif pada produktivitas, inovasi, dan retensi talenta, serta membantu perusahaan mencapai kesuksesan jangka panjang.