Gelombang kepanikan dan kebingungan melanda komunitas India dan industri teknologi global menyusul perintah mendadak yang diinisiasi oleh pemerintahan Presiden AS saat itu, yang secara efektif mengenakan biaya USD 100.000, setara dengan sekitar Rp 1,6 miliar, untuk setiap visa H-1B. Kebijakan kontroversial ini, yang digambarkan oleh banyak pihak sebagai proteksionis dan diskriminatif, memicu perdebatan sengit tentang dampaknya terhadap mobilitas tenaga kerja global, inovasi, dan hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan India. Meskipun secara luas dianggap sebagai pukulan telak bagi aspirasi banyak profesional India untuk bekerja dan berkarir di AS, beberapa analis berpendapat bahwa kebijakan ini justru dapat membawa berkah tersembunyi bagi India dengan mendorong talenta-talenta terbaik untuk tetap tinggal di dalam negeri atau kembali dari luar negeri, sehingga memacu pertumbuhan ekonomi dan inovasi di India.
Pengumuman mendadak tentang biaya visa yang melonjak drastis ini memicu kebingungan dan kekacauan yang meluas. Sebagai contoh, dalam penerbangan Emirates dari San Francisco menuju Dubai, yang mengangkut banyak penumpang asal India yang hendak pulang kampung, pesawat tersebut tertahan di landasan selama tiga jam. Para pemegang visa H-1B yang panik berebut informasi untuk memastikan apakah mereka masih diizinkan masuk kembali ke AS setelah kunjungan mereka ke India. Video insiden tersebut, yang kemudian diverifikasi oleh berbagai sumber berita, menunjukkan kapten pesawat berusaha menenangkan para penumpang yang cemas. "Karena keadaan saat ini, jelas ini belum pernah terjadi sebelumnya bagi kami di Emirates," ujarnya melalui pengeras suara, sementara para penumpang yang kebingungan memeriksa ponsel mereka untuk mencari informasi terbaru. Sang kapten menambahkan, "Kami menyadari bahwa sejumlah penumpang tidak ingin bepergian dengan kami. Itu tidak masalah," menunjukkan betapa besar kebingungan dan ketidakpastian yang disebabkan oleh pengumuman tersebut.
Masud Rana, salah seorang penumpang dalam penerbangan tersebut, menggambarkan situasi tersebut sebagai "kekacauan total" dalam unggahannya di Instagram. Dia mencatat bahwa pengumuman tersebut menciptakan kepanikan di antara banyak orang, terutama para penumpang India, yang bahkan ada yang memutuskan untuk meninggalkan pesawat karena khawatir tentang status visa mereka. Insiden ini hanyalah salah satu contoh dari kebingungan dan kecemasan yang meluas yang dipicu oleh kebijakan visa yang baru.
Menanggapi kebingungan yang meluas, Gedung Putih kemudian mengeluarkan klarifikasi yang menyatakan bahwa biaya visa sebesar USD 100.000 hanya akan berlaku untuk aplikasi H-1B baru. Meskipun klarifikasi ini memberikan sedikit kejelasan, namun tidak meredakan kekhawatiran tentang dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut.
Langkah yang diambil oleh pemerintahan AS ini diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap para profesional terampil dari India, yang secara konsisten menyumbang mayoritas aplikasi yang disetujui dalam beberapa tahun terakhir. Visa H-1B telah lama menjadi jalur utama bagi para profesional India untuk bekerja di sektor teknologi dan bidang-bidang khusus lainnya di AS. Kebijakan baru ini mengancam untuk mengubah jalur karier ratusan ribu orang India dan berpotensi mengganggu model bisnis perusahaan teknologi yang sangat bergantung pada talenta global.
Selama beberapa dekade, visa H-1B telah menjadi pintu gerbang bagi warga terbaik India untuk memasuki dunia kerja AS dan membangun karier jangka panjang di Amerika. Program visa ini telah memungkinkan perusahaan-perusahaan AS untuk merekrut pekerja terampil dari seluruh dunia, termasuk India, untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di bidang-bidang seperti teknologi informasi, teknik, dan sains. Banyak profesional India telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan keterampilan mereka, berkontribusi pada inovasi, dan membangun kehidupan yang sukses di AS.
Bukti paling mencolok dari keberhasilan ini terlihat jelas di jajaran pimpinan raksasa teknologi saat ini seperti Satya Nadella dari Microsoft, Sundar Pichai dari Alphabet (Google), Arvind Krishna dari IBM, dan Shantanu Narayen dari Adobe. Keempat tokoh terkemuka ini semuanya lahir di India dan meraih gelar dari universitas Amerika. Kisah sukses mereka menjadi inspirasi bagi banyak profesional muda India dan menyoroti kontribusi signifikan yang telah diberikan oleh orang India-Amerika terhadap inovasi dan pertumbuhan ekonomi di AS.
Namun, kebijakan visa yang baru menimbulkan pertanyaan tentang masa depan mobilitas tenaga kerja global dan kemampuan perusahaan-perusahaan AS untuk mengakses talenta terbaik dari seluruh dunia. Banyak yang berpendapat bahwa kebijakan ini akan merugikan daya saing AS dan menghambat inovasi dengan membatasi kemampuan perusahaan-perusahaan untuk merekrut pekerja terampil dari India dan negara-negara lain.
Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa kebijakan ini justru akan menguntungkan India dalam jangka panjang. Argumen ini didasarkan pada gagasan bahwa dengan membuat visa H-1B menjadi tidak terjangkau, AS secara tidak sengaja mendorong talenta India untuk tetap tinggal di dalam negeri atau kembali dari luar negeri. Hal ini dapat memicu lonjakan inovasi dan pertumbuhan ekonomi di India, karena perusahaan-perusahaan India memiliki akses ke kumpulan talenta yang lebih besar.
India telah lama bergulat dengan fenomena brain drain, di mana para warga negaranya yang paling cerdas dan berbakat mencari peluang di luar negeri. Visa H-1B telah menjadi jalur utama bagi banyak orang India untuk beremigrasi ke AS dan membangun karier yang sukses. Akibatnya, India kehilangan banyak talenta potensial yang dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonominya.
Warga India-Amerika, yang hanya berjumlah sekitar 1% dari populasi AS, telah menjadi kekuatan yang signifikan dalam inovasi dan kewirausahaan. Mereka telah mendirikan banyak perusahaan sukses dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap ekonomi AS. Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa kontribusi ini seharusnya dapat dinikmati oleh India jika para profesional ini tetap tinggal di dalam negeri.
Dengan menjadikan visa H-1B tidak layak secara ekonomi, AS mungkin secara tidak sengaja mendorong talenta India untuk tinggal di dalam negeri atau kembali dari luar negeri. Hal ini dapat memberikan dorongan besar bagi industri TI India, yang sudah menjadi pemimpin global. Perusahaan-perusahaan seperti Infosys dan TCS dapat mengalami lonjakan inovasi dengan memiliki akses ke kumpulan talenta yang lebih besar.
Sektor-sektor yang sedang berkembang seperti kecerdasan buatan (AI), keamanan siber, dan teknologi finansial (fintech), yang telah menunjukkan potensi besar di India, dapat memperoleh manfaat signifikan dari kumpulan talenta yang lebih besar. Dengan lebih banyak profesional India yang tinggal di dalam negeri, India dapat menjadi pusat global untuk inovasi dan teknologi.
Seorang pengamat menyatakan, "Ini kerugian bagi Amerika, bukan India. Orang-orang yang pergi ke luar negeri dan tidak mampu membayar uang sebanyak itu, mereka akan membuka kantor di sini. Ketika mereka bekerja di sini, India, yang sudah berada di jalur kemajuan, akan lebih maju." Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa kebijakan visa yang baru dapat menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi dan inovasi di India.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dampak dari kebijakan visa yang baru akan kompleks dan beragam. Tidak semua profesional India akan memilih untuk tinggal di India atau kembali dari luar negeri. Beberapa mungkin mencari peluang di negara lain, sementara yang lain mungkin terpaksa meninggalkan karier mereka di bidang teknologi. Selain itu, kebijakan ini dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan bagi ekonomi AS, seperti kekurangan tenaga kerja di bidang-bidang tertentu dan penurunan inovasi.
Pada akhirnya, dampak jangka panjang dari kebijakan visa yang baru akan bergantung pada berbagai faktor, termasuk respons dari pemerintah India, strategi yang diadopsi oleh perusahaan-perusahaan teknologi, dan keputusan yang dibuat oleh para profesional India. Meskipun ada ketidakpastian, jelas bahwa kebijakan ini akan memiliki implikasi yang signifikan bagi mobilitas tenaga kerja global, inovasi, dan hubungan antara Amerika Serikat dan India. Hanya waktu yang akan membuktikan apakah kebijakan ini benar-benar akan membawa berkah tersembunyi bagi India, atau apakah itu akan menjadi kerugian bagi kedua negara.