Pemerintahan mantan Presiden Donald Trump mengusulkan kebijakan kontroversial yang akan menaikkan biaya visa H-1B bagi pekerja terampil asing menjadi USD 100.000, atau setara dengan Rp 1,6 miliar. Langkah ini, yang pertama kali diumumkan pada tahun 2025, berpotensi memberikan dampak signifikan, terutama bagi sektor teknologi yang selama ini mengandalkan tenaga ahli dari negara-negara seperti India dan China. Kebijakan ini merupakan bagian dari serangkaian tindakan keras terhadap imigrasi yang dilakukan oleh pemerintahan Trump, dan menjadi upaya paling nyata dalam merombak aturan visa kerja sementara.
Menteri Perdagangan pada masa itu, Howard Lutnick, dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap kebijakan ini. Ia menyerukan agar perusahaan-perusahaan Amerika lebih fokus pada pengembangan sumber daya manusia lokal. "Anda akan melatih salah satu lulusan baru dari salah satu universitas besar di negeri kita. Latihlah orang Amerika. Hentikan perekrutan orang untuk merebut pekerjaan kita," ujarnya, mencerminkan sentimen proteksionis yang menjadi ciri khas pemerintahan Trump.
Pengumuman ini segera memicu reaksi beragam dari berbagai pihak. Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft, JPMorgan, dan Amazon merespons dengan memberikan dukungan kepada karyawan mereka yang memegang visa H-1B, menyarankan mereka untuk tetap tinggal dan melanjutkan pekerjaan di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran pekerja asing bagi keberlangsungan operasional dan inovasi di perusahaan-perusahaan tersebut.
Di sisi lain, kritikus program H-1B, yang sebagian besar terdiri dari pekerja teknologi AS, menyambut baik usulan tersebut. Mereka berpendapat bahwa program H-1B selama ini telah dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menekan upah dan menggantikan pekerja Amerika yang sebenarnya mampu melakukan pekerjaan yang sama. Mereka mengklaim bahwa kebijakan ini akan menciptakan lapangan kerja baru bagi warga negara Amerika dan meningkatkan standar upah di sektor teknologi.
Namun, ada pula pihak yang menyuarakan kekhawatiran. Pendukung program H-1B, termasuk CEO Tesla, Elon Musk, yang notabene adalah mantan sekutu Trump, berpendapat bahwa program ini justru mendatangkan tenaga ahli yang sangat penting untuk mengisi kesenjangan bakat dan menjaga daya saing Amerika Serikat di kancah global. Musk sendiri, yang merupakan warga negara AS yang dinaturalisasi dan lahir di Afrika Selatan, pernah memegang visa H-1B pada awal karirnya. Ia memahami betul manfaat yang dapat diberikan oleh pekerja asing yang memiliki keahlian khusus.
Pemerintahan Trump, dalam pembelaannya, mengklaim bahwa beberapa perusahaan telah mengeksploitasi program H-1B untuk menekan upah dan merugikan pekerja Amerika. Mereka menunjuk pada fakta bahwa jumlah pekerja asing di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) di AS meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2019, mencapai hampir 2,5 juta orang. Sementara itu, lapangan kerja STEM hanya meningkat sebesar 44,5% selama periode yang sama. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dan potensi penyalahgunaan program H-1B.
Deedy Das, seorang pengamat dari Menlo Ventures, berpendapat bahwa kebijakan ini dapat berdampak negatif terhadap daya tarik Amerika Serikat sebagai pusat inovasi global. Ia menyatakan bahwa talenta-talenta terbaik dunia akan enggan datang ke AS jika biaya visa H-1B menjadi terlalu mahal. "Jika AS berhenti menarik talenta terbaik, kemampuannya untuk berinovasi dan mengembangkan ekonomi akan berkurang drastis," cetusnya. Ia memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat merugikan Amerika Serikat dalam jangka panjang.
Selain itu, kebijakan ini juga dapat menambah biaya operasional perusahaan, terutama perusahaan teknologi kecil dan startup, hingga jutaan dolar. Hal ini dapat memaksa mereka untuk memindahkan beberapa pekerjaan bernilai tinggi ke luar negeri, yang pada akhirnya akan menghambat posisi Amerika dalam persaingan di bidang kecerdasan buatan (AI) dengan negara-negara lain, terutama China.
Jeremy Goldman, seorang analis dari eMarketer, sependapat dengan pandangan tersebut. Ia menyatakan bahwa dalam jangka pendek, Washington mungkin akan meraup keuntungan finansial dari kebijakan ini. Namun, dalam jangka panjang, AS berisiko mengorbankan keunggulan inovasinya, menukar dinamisme dengan proteksionisme yang picik. Ia memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat merugikan Amerika Serikat dalam jangka panjang dan memperlambat pertumbuhan ekonominya.
Kebijakan ini juga memicu perdebatan sengit mengenai dampak imigrasi terhadap ekonomi Amerika Serikat. Pendukung pembatasan imigrasi berpendapat bahwa hal itu akan melindungi lapangan kerja dan meningkatkan upah bagi pekerja Amerika. Sementara itu, pendukung imigrasi berpendapat bahwa imigran berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan keragaman budaya.
Perdebatan mengenai visa H-1B dan imigrasi secara umum mencerminkan ketegangan yang mendalam dalam masyarakat Amerika Serikat mengenai identitas nasional, ekonomi global, dan masa depan inovasi. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah akan memiliki konsekuensi jangka panjang bagi daya saing Amerika Serikat dan posisinya di dunia.
Pada akhirnya, dampak dari kebijakan visa H-1B yang super mahal ini akan sangat bergantung pada bagaimana perusahaan-perusahaan dan individu-individu beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Perusahaan mungkin akan mencari cara untuk merekrut dan melatih lebih banyak pekerja Amerika, atau mereka mungkin akan memindahkan beberapa pekerjaan ke luar negeri. Individu-individu dengan keterampilan yang dibutuhkan mungkin akan mempertimbangkan untuk bekerja di negara lain, atau mereka mungkin akan bersedia membayar biaya visa yang lebih tinggi untuk bekerja di Amerika Serikat.
Masa depan program H-1B dan imigrasi di Amerika Serikat masih belum pasti. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa perdebatan mengenai isu-isu ini akan terus berlanjut dan membentuk kebijakan pemerintah di tahun-tahun mendatang. Kebijakan yang diambil akan memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi Amerika Serikat, inovasi, dan posisinya di dunia.